Beli Es Teh Ditangkap hingga Pelajar Diseret, Polisi Langgar HAM di Semarang

Penangkapan brutal di Semarang: pelajar diseret, pembeli es teh ditangkap. Polisi dituding langgar HAM dalam penanganan demonstrasi.-Foto: IG @infosemarangterkini-
Selain penangkapan acak dan sewenang-wenang, polisi juga dinilai telah menimbulkan keresahan dan ketakutan di masyarakat karena mereka sering berpatroli membawa senjata api laras panjang. Perbuatan itu dinilai Fandy tidak proporsional dan tidak tepat dilakukan dalam menghadapi kondisi saat ini.
“Instruksi tembak di tempat dari Kepala Polri merupakan perintah yang salah serta berpotensi disalahartikan anak buah dan semakin menambah kasus kekerasan yang menimbulkan korban,” ujar Fandy.
BACA JUGA:Dasco: DPR Tak Lagi Terima Tunjangan Rumah Sejak 31 Agustus
Tim Hukum Suara Aksi pun meminta seluruh anggota kepolisian untuk tidak mentaati perintah itu. Sebab, menurut Fandy, polisi tidak mengenal chain of command atau rantai komando sehingga tidak tunduk pada komando, melainkan tunduk pada undang-undang dan hukum.
”Polisi berhak menolak perintah pimpinan agar tidak terulang seperti kasus Sambo yang memerintahkan penembakan terhadap anak buahnya,” ungkap Fandy.
Anggota Tim Hukum Suara Aksi, Kahar Muamalsyah, menyebut polisi sempat menghalangi tim hukum maupun keluarga untuk mendampingi maupun menemui orang-orang yang ditangkap. Padahal, setiap orang berhak mendapat pendampingan hukum saat diperiksa polisi, apalagi mayoritas merupakan anak di bawah umur.
“Tim hukum maupun keluarga dari orang-orang yang ditangkap ini tidak diberikan akses masuk, bahkan ada salah satu korban penangkapan yang merupakan penyandang disabilitas tuli tidak diberi pendamping khusus. Polisi tidak memberikan hak atas bantuan hukum dan hak dikunjungi keluarga bagi mereka yang ditangkap ini merupakan pelanggaran HAM dan kitab undang-undang hukum acara pidana,” jelas Kahar.
BACA JUGA:Polisi Tersangkakan 11 Pembakar Gedung DPRD Makassar, Rata-rata Mahasiswa
Menurut Kahar, tindakan penghalang-halangan yang dilakukan polisi terhadap Tim Hukum Suara Aksi merupakan pelanggaran hukum. Hal itu juga mengindikasikan bahwa polisi tidak menghormati advokat sebagai aparat penegak hukum yang menjalankan tugas yang sah berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Walhasil, jika hukum adalah panglima, maka ia kini sedang sibuk membenarkan pelanggaran. Di negeri yang mengaku demokratis, anak-anak ditangkap karena nongkrong, pembeli es teh dianggap makar, dan senjata panjang digunakan melawan poster dan tuntutan damai.
Polisi bukan lagi pelindung, tapi justru penggugur rasa aman. Dan jika aparat bisa seenaknya menafsirkan perintah tembak di tempat, mungkin sudah saatnya kita semua menanyakan siapa sebenarnya yang harus dikembalikan ke barak?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News