Sampah Makanan Diam-Diam Merusak Iklim, Kita Baru Sadar Saat Sudah Terlambat

Sampah Makanan Diam-Diam Merusak Iklim, Kita Baru Sadar Saat Sudah Terlambat

Sampah makanan yang membusuk di TPA memproduksi metana, gas rumah kaca berdaya rusak tinggi. Pengomposan jadi solusi yang masih minim diterapkan.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id — Buang sisa makanan ke tong sampah rasanya sepele. Banyak orang mengira, karena sifatnya organik, sisa-sisa itu bakal lenyap begitu saja setelah membusuk. Yang jarang disadari adalah urusan sampah tidak berhenti di pintu rumah. Begitu truk pengangkut datang, masalahnya justru baru dimulai. Dan masalah itu bukan cuma soal TPA yang makin sesak, tapi soal satu kata yang sering bikin ilmuwan gelisah yaitu metana.

Sampah makanan yang ditimbun di tempat pembuangan tidak menghilang begitu saja. Ia membusuk sambil melepaskan metana, gas rumah kaca yang daya rusaknya bisa 80 hingga 85 kali lebih kuat daripada karbon dioksida dalam periode 20 tahun. Jadi persoalan besar bukan pada jumlah sisa makanan yang dibuang, tetapi di mana ia berakhir dan bagaimana proses pembusukannya berlangsung.

Tempat pembuangan akhir, yang seharusnya hanya jadi tempat transit sampah, malah berfungsi seperti mesin pembuat metana. Rodielon Putol dalam laman Earth.com menjelaskan bagaimana sampah organik berubah menjadi gas berbahaya. “Ketika sampah makanan terkubur di bawah sampah lain, sampah itu dengan cepat menghabiskan oksigen di sekitarnya,” tulis Putol yang dikutip Senin, 8 Desember 2025.

Pada awalnya, sedikit pembusukan aerobik masih terjadi, melepaskan karbon dioksida. Namun setelah oksigen habis, proses berubah menjadi pembusukan anaerobik. Di fase inilah metana diproduksi. Berbeda dengan tumpukan kompos yang terus terpapar udara, TPA padat dan tertutup, membuatnya cocok sebagai tempat metana lahir dan berkembang biak.

BACA JUGA:Ini Kenapa Merusak Hutan Sama Saja Mengundang Penyakit Masuk Rumah

Pengomposan bekerja dengan prinsip yang berlawanan. Kompos menjaga udara tetap masuk sehingga tidak ada kesempatan metana terbentuk. Selain itu, hasil akhirnya malah bermanfaat. “Yaitu pupuk alami yang dapat digunakan kembali untuk pertanian dan kebun,” tambah Putol.

Sejumlah kota mulai mendorong program kompos sebagai upaya mengurangi metana dari TPA. Namun efektivitas sebenarnya dipertanyakan. Apakah program ini benar-benar menghasilkan dampak besar atau hanya menambah pekerjaan rumah baru?

Sebuah studi terbaru mencoba menilai pengomposan berdasarkan data lapangan. Salah satu contoh datang dari Austin, Texas, yang mengizinkan warga membuat kompos di rumah. Rata-rata, program ini menurunkan sampah organik sekitar satu kilogram per rumah tangga per minggu. Angka itu cukup menggembirakan, tetapi masih jauh dari keseluruhan sampah mingguan rumah tangga Amerika.

Pengomposan Butuh Komitmen Warga

Masalah lain muncul soal partisipasi. Tidak seperti kota yang mewajibkan kompos, banyak wilayah di Amerika membiarkan program ini bersifat sukarela. Akibatnya, banyak warga memilih tidak terlibat.

Jackson Somers, asisten profesor ekonomi pertanian dan sumber daya di College of Agriculture, Health and Natural Resources (CAHNR), meneliti pola ini dalam studinya berjudul “Household landfill diversion and the impact on methane emissions”. “Sebagai individu, kita menghasilkan banyak sampah makanan, dan itu adalah sesuatu yang harus kita sadari. Dari sana, Anda harus membuat kompos jika Anda ingin membuat kompos,” kata Somers. Ia menambahkan, “Saya pikir, pada dasarnya, kita tidak ingin boros. Tetapi bagi sebagian orang, itu hanya beban upaya yang tinggi.”

BACA JUGA:Orangutan Tapanuli Ketahuan Punya Markas Kedua, Jauh dari Batang Toru Tapsel

Dari sisi ekonomi, pengomposan skala rumah tangga masih menghadapi hambatan besar. Somers menghitung bahwa mencegah satu ton emisi CO₂ lewat kompos butuh biaya sekitar USD478 atau hampir Rp8 juta. Bandingkan dengan “biaya sosial karbon” yang dipatok USD51 atau sekitar Rp850 ribu per ton emisi.

Artinya, program pengomposan kecil masih tergolong mahal untuk dampak lingkungan yang dihasilkan. “Dengan program yang ada saat ini, mengingat infrastruktur yang dimiliki–program-program ini memang sangat mahal untuk penghematan yang kita lihat,” kata Somers. Namun mahal bukan berarti tidak berguna.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share