Soal Bencana Sumatera, KIKA Sebut Pemerintah Terjebak Politik Anti-Sains
KIKA menilai pernyataan pejabat soal bencana Sumatera menunjukkan absennya pendekatan ilmiah dan lemahnya prioritas pemerintah dalam penanganan darurat.-Foto: Antara-
JAKARTA, PostingNews.id — Pernyataan pejabat pemerintah soal bencana di Sumatera kembali menuai sorotan. Presidium Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik atau KIKA, Herdiansyah Hamzah, menilai ucapan para pejabat belakangan ini seperti datang dari ruang rapat yang jauh dari lapangan. Menurutnya, komentar-komentar itu menunjukkan betapa keputusan penting negara kerap diambil tanpa pijakan ilmiah yang layak.
Herdiansyah mengatakan pola ini bisa dilihat dari pernyataan elite yang beredar beberapa pekan terakhir. Di mata KIKA, banyak klaim pejabat justru berseberangan dengan kondisi faktual di daerah terdampak. Ia menyebut mulai dari isu infrastruktur, energi, sampai soal mitigasi bencana, pejabat sering kali bicara tanpa menunggu data lengkap.
“Itu pertanda bahwa ini adalah politik anti-science. Keputusan-keputusan politik tidak berdasarkan kajian akademik, tidak berdasarkan fakta, tidak juga mendengar perspektif korban” ujar Herdiansyah dalam konferensi pers daring, Senin 8 Desember 2025.
Salah satu contoh yang ia sorot adalah pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia yang menyebut 93 persen wilayah Aceh telah teraliri listrik. Ia juga menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyamakan sawit sebagai pohon untuk membenarkan sebuah kebijakan, serta komentar Kepala BNPB yang menyatakan bahwa kegaduhan soal bencana hanya ramai di media sosial.
BACA JUGA:Kabur ke Mekkah Saat Banjir, Wacana Pencopotan Bupati Aceh Selatan Makin Keras di Senayan
Bagi Herdiansyah, tiga pernyataan itu cukup untuk menggambarkan betapa renggangnya hubungan antara kebijakan negara dan basis ilmiah yang seharusnya menopangnya.
Menurut dia, kegagalan komunikasi pemerintah dengan warga di daerah terdampak semakin memperjelas persoalan. Bencana yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara membawa kerusakan luas, pengungsian massal, dan korban jiwa, namun dialog antara pemerintah dan warga disebut hampir tak terdengar.
“Mereka tidak pernah bicara dengan masyarakat di Aceh, tidak pernah bicara dengan masyarakat di Sumatera Barat dan Sumatera Utara” kata Herdiansyah.
Ia juga menyoroti soal anggaran penanggulangan bencana yang disebutnya tertinggal jauh dibanding besarnya dana untuk proyek-proyek strategis nasional. Herdiansyah mencontohkan proyek Mass Rapid Transit berbasis MBG dan Koperasi Merah Putih yang menurutnya menghabiskan anggaran besar, sementara dana penanganan bencana justru tipis.
BACA JUGA:Telur Tembus Rp100 Ribu, Gubernur Aceh Ngamuk di Tengah Banjir
“Kalau pos pendanaan penanggulangan bencana hanya tersisa Rp 491 miliar, sementara MBG memakan Rp 1,2 triliun per hari, itu jauh sekali” ujarnya.
KIKA menilai kombinasi pernyataan yang keliru, minimnya dialog, serta prioritas anggaran yang timpang, mencerminkan pemerintahan yang gagal membaca skala kedaruratan di Sumatera. Herdiansyah memperingatkan bahwa kelambanan penanganan bisa memperburuk situasi warga yang masih berada di tiga provinsi terdampak.
“Kalau Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat belum diprioritaskan, maka rezim ini ikut membiarkan warga mati bukan karena banjir, tapi karena kelaparan” katanya.
Ia mendesak pemerintah untuk menghentikan pola kebijakan yang mengabaikan keselamatan warga. Menurut Herdiansyah, bencana di Sumatera seharusnya menjadi prioritas nasional yang memaksa pemerintah mengalihkan perhatian dan sumber daya secara signifikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News