Muhammadiyah Minta Prabowo Bongkar Ulang Kontrak SDA usai Sumatera Luluh Lantak

Muhammadiyah Minta Prabowo Bongkar Ulang Kontrak SDA usai Sumatera Luluh Lantak

Muhammadiyah mendesak Presiden Prabowo meninjau ulang kontrak sumber daya alam usai bencana besar melanda Sumatera.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id — Bencana yang meluluhlantakkan sejumlah wilayah di Sumatera tidak berhenti sebagai catatan cuaca ekstrem. Ia berubah jadi alarm keras tentang cara negara mengelola kekayaan alamnya sendiri. Dari sini, suara desakan pun menguat agar pemerintah tidak sekadar sibuk memulihkan dampak, tapi juga berani membongkar akar persoalan yang selama ini tersembunyi di balik kontrak-kontrak besar sumber daya alam.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas termasuk yang paling lantang. Ia mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau ulang seluruh kontrak kerja sama sumber daya alam di Indonesia. Menurut Anwar, bencana di Sumatera harus dibaca sebagai peringatan bahwa ada yang keliru dalam relasi antara negara, korporasi, dan lingkungan.

Anwar mengaitkan desakannya dengan isi buku Confessions of an Economic Hit Men karya John Perkins. Ia merujuk bagian pendahuluan buku tersebut yang mengungkap praktik-praktik buruk perusahaan besar dalam mengeksploitasi negara lain.

Salah satu contoh yang ia angkat adalah kasus Ekuador. Dari setiap US$100 minyak mentah yang diambil dari hutan hujan Ekuador, perusahaan minyak menikmati US$75. Sisa US$25 pun tidak sepenuhnya kembali ke rakyat karena sebagian besar dipakai untuk biaya militer dan belanja pemerintah.

BACA JUGA:Korban Bencana Sumatera Kewalahan, PDIP Desak Pemerintah Buka Pintu Bantuan Asing

“Hany sekitar US$ 2,5-3 yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat yang terkena dampak buruk dari proyek mereka tersebut,” kata Anwar dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 20 Desember 2025.

Bagi Anwar, cerita dalam buku itu bukan dongeng jauh di seberang benua. Polanya, kata dia, terasa dekat dengan apa yang terjadi di Indonesia hari ini. Ia kemudian mengutip analisis ekonom Faisal Basri soal hilirisasi nikel. Meski kebijakan itu dikemas dengan tujuan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, Anwar menilai hasil akhirnya justru lebih banyak mengalir ke luar.

“Kita hanya menikmati sebagian kecil saja yaitu sekitar 10 persen, sementara 90 persennya lari ke Cina,” ujar Anwar.

Masalahnya tidak berhenti di situ. Anwar menyoroti harga nikel Indonesia yang dibanderol US$34. Padahal, berdasarkan penjelasan Faisal Basri, harga di Shanghai bisa menembus US$80. Selisih besar ini dianggap sebagai potret ketimpangan dalam praktik bisnis sumber daya alam.

BACA JUGA:Banjir Bukan Sekadar Bencana Alam! Kapolri Bongkar Peran Korporasi di Balik Kayu Gelondongan Sumatra

Ia menilai kondisi tersebut bertabrakan langsung dengan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

“Untuk itu saatnya kita mengimbau Presiden Prabowo, yang dikenal sangat menjiwai dan bersemangat menegakkan Pasal 33 UUD 1945, untuk meninjau ulang semua kontrak tentang sumber daya alam yang ada,” kata Anwar.

Ia menegaskan, evaluasi ulang kontrak bukan sekadar pilihan politik, melainkan kewajiban konstitusional. Menurutnya, jika Pasal 33 UUD 1945 dijalankan secara konsisten, Indonesia seharusnya bisa menjadi negara kaya yang benar-benar menghadirkan kemakmuran bagi rakyatnya, bukan sekadar bagi segelintir pihak.

Di sisi lain, pemerintah mulai menunjukkan langkah penertiban. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sebelumnya mencabut 22 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dengan total luas mencapai 1.012.016 hektare. Dari jumlah tersebut, sekitar 116.198 hektare berada di Sumatera. “Detailnya saya akan menuliskan SK (Surat Keputusan) pencabutan ini,” ujar Raja Juli di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin, 15 Desember 2025.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share

Berita Terkait