Korban Bencana Sumatera Kewalahan, PDIP Desak Pemerintah Buka Pintu Bantuan Asing
PDIP mendesak pemerintah membuka pintu bantuan asing untuk korban banjir dan longsor di Sumatera yang dinilai sudah kewalahan.-Foto: Antara-
JAKARTA, PostingNews.id — Di tengah lumpur yang belum mengering dan duka yang belum reda di Sumatera, suara desakan ke pemerintah pusat mulai terdengar makin keras. Dari panggung politik, Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan meminta negara membuka pintu selebar-lebarnya untuk bantuan bencana, termasuk dari luar negeri. Alasannya sederhana tapi getir. Korban banjir dan tanah longsor sudah kelelahan, baik secara fisik maupun batin.
Ketua DPP PDIP Tri Rismaharini menilai sudah waktunya pemerintah tidak lagi memilah-milah bantuan yang datang. Bagi Risma, ketika warga Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara berjuang di tengah puing rumah dan kehilangan keluarga, semua uluran tangan seharusnya diterima tanpa prasangka.
“Siapa pun yang memberikan bantuan itu kita tidak usah (memilih) ini siapa dulu, ini siapa dulu, ini siapa. Tapi harus secepatnya didorong. Minimal untuk membangunkan semangat mereka,” kata Risma saat ditemui awak media di Jakarta Internasional Equestrian Park, Jakarta, Jumat 19 Desember 2025.
Risma mengaku tak sepenuhnya memahami detail aturan soal masuknya bantuan asing. Namun menurutnya, situasi di lapangan jauh lebih mendesak dibanding perdebatan administratif. Ia menekankan bahwa kondisi korban yang kehilangan segalanya harus menjadi pertimbangan utama.
BACA JUGA:Banjir Sumatra Jadi Pembeda, Cara Prabowo Tangani Bencana Tak Lagi Seperti Zaman SBY
Di banyak titik bencana, warga bukan hanya kehilangan rumah dan harta benda, tetapi juga orang-orang terdekat. Trauma ikut menyertai. Dalam situasi seperti itu, kata Risma, kehadiran siapa pun yang peduli sudah menjadi penguat moral bagi para korban.
“Selain kehilangan harta benda mereka juga kehilangan keluarga. Dengan kedatangan orang lain yang menghibur mereka aja mereka udah senang. Apalagi kita bisa membantu kehidupan mereka,” tuturnya.
Namun hingga kini, pemerintah pusat belum menetapkan bencana di Sumatera sebagai darurat nasional. Status ini membuat jalur bantuan asing menjadi sempit dan berliku. Pemerintah Aceh bahkan mengambil langkah sendiri dengan mengirim surat kepada dua lembaga PBB, UNDP dan Unicef, untuk membantu proses pemulihan korban banjir dan tanah longsor.
Sikap pemerintah tersebut juga menuai kritik dari Muhammadiyah. Organisasi ini menilai negara belum sepenuhnya hadir dalam menghadapi bencana berskala besar yang melanda Sumatera. Ketidaksiapan menetapkan status darurat kemanusiaan nasional dinilai hanya akan memperpanjang penderitaan warga terdampak.
BACA JUGA:Penanganan Bencana Masih Payah, Seskab Teddy Ajak Warga Turun Tangan dan Jangan Saling Menyalahkan
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menegaskan bahwa skala bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sudah melampaui kemampuan pemerintah daerah. Situasi ini, menurutnya, membutuhkan komando nasional yang kuat dan penanganan yang terkoordinasi lintas sektor.
Di balik perdebatan status dan prosedur, angka korban terus bertambah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat jumlah korban meninggal telah mencapai 1.068 jiwa hingga Jumat 19 Desember 2025 pukul 09.30 WIB. Data itu tercantum dalam Geoportal Data Bencana milik BNPB. “1.068 jiwa korban meninggal,” tulis keterangan resmi dalam data tersebut.
Kabupaten Agam menjadi wilayah dengan korban meninggal terbanyak, mencapai 187 jiwa. Angka ini disusul Kabupaten Aceh Utara sebanyak 169 jiwa dan Tapanuli Tengah 131 jiwa. Di sisi lain, 190 orang masih dinyatakan hilang dan sekitar 7.000 orang mengalami luka-luka.
Kerusakan infrastruktur tak kalah parah. BNPB mencatat sebanyak 147.236 rumah rusak akibat bencana. Selain itu, 1.600 fasilitas umum terdampak, termasuk 219 fasilitas kesehatan, 967 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, 290 gedung atau kantor, serta 145 jembatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News