Orangutan Tapanuli Ketahuan Punya Markas Kedua, Jauh dari Batang Toru Tapsel
Temuan terbaru menunjukkan orangutan Tapanuli hidup juga di Lumut Maju, jauh dari Batang Toru, membuka peta baru habitat sekaligus ancaman konservasi.-Foto: ugm.ac.id-
JAKARTA, PostingNews.id — Sejak pertama kali diumumkan ke publik pada 2017, orangutan Tapanuli selalu diasosiasikan dengan hutan Batang Toru sebagai satu-satunya rumah resmi mereka. Namun temuan terbaru membuat peta konservasi perlu digambar ulang. Kera besar yang masuk kategori sangat terancam punah ini ternyata tidak hanya nongkrong di Batang Toru, tetapi juga muncul di hutan rawa gambut sekitar 32 kilometer dari sana. Lokasinya di Lumut Maju, Kabupaten Tapanuli Tengah, yang selama ini lebih dikenal sebagai kawasan perkebunan ketimbang tempat nongolnya spesies langka.
Kisahnya bermula pada September 2025. Tim Yayasan Orangutan Sumatera Lestari dan Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) mendokumentasikan seekor induk dan anak orangutan di hutan sekunder Lumut Maju. Padahal, perhatian ke lokasi itu sudah muncul sejak 2022, setelah warga setempat melapor ke Unit Tanggap Konflik Manusia-Orangutan HOCRU mengenai penampakan orangutan. Tim sempat turun ke sana, tapi hanya menemukan lima sarang yang tampak seperti bekas hunian lama.
Tidak berhenti sampai di situ, para peneliti kembali memantau kawasan rawa gambut seluas 1.234 hektare tersebut. Hasilnya cukup mengejutkan. Mereka menemukan 17 sarang baru, beberapa masih terlihat seperti proyek konstruksi yang belum lama selesai. Bukti-bukti itu membuat dugaan awal tentang keberadaan orangutan di luar Batang Toru semakin kuat.
Pada 2023 hingga 2024, survei gabungan YOSL-OIC dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara mencatat beberapa individu orangutan berkeliaran di Lumut Maju. Tatap muka pertama dengan penghuni aslinya terjadi pada Oktober 2024, ketika para peneliti berjumpa langsung dengan seekor jantan. Untuk memastikan identitasnya, peneliti mengumpulkan sampel kotoran pada Januari 2025. Sampel itu dikirim untuk uji DNA dan hasilnya tegas, spesimen tersebut adalah orangutan Tapanuli.
BACA JUGA:Untuk Pertama Kalinya Mikroplastik Ditemukan di Perut Primata, Pelakunya Monyet Howler Merah
Citra drone thermal dan pemantauan darat kemudian memperlihatkan pola pergerakan di petak-petak hutan sekitar. Pengamatan perilaku makan menambah gambaran bagaimana orangutan ini menyesuaikan diri dengan habitat rawa gambut. Di kawasan ini, mereka menyantap buah dari pohon seperti Syzygium muelleri, Tetramerista glabra, Artocarpus elasticus, dan Campnosperma coriaceum. Menu yang cukup beragam untuk primata yang wilayah jelajahnya dikenal terbatas.
Temuan terbaru ini secara praktis memperluas peta sebaran orangutan Tapanuli. Kera besar yang sebelumnya dianggap terpaku di Batang Toru ternyata punya jejak hidup yang lebih lebar dari perkiraan. Kabar baiknya, ini membuka harapan baru bagi kelangsungan spesies tersebut. Namun ada pula sisi yang membuat dahi para peneliti berkerut.
Hutan rawa gambut di Lumut Maju yang menjadi hunian mereka bukan kawasan lindung. Statusnya membuat wilayah ini mudah berubah menjadi lahan lain. Pada 2025 saja, hutan yang tersisa tinggal di bawah 1.000 hektare akibat pembukaan kawasan untuk kepentingan perkebunan, baik oleh masyarakat maupun perusahaan sawit. Petak-petak lahan kosong terlihat jelas membelah area yang dulunya hutan lebat.
Selain itu, populasi orangutan Tapanuli di Lumut Maju terisolasi. Mereka tidak punya jalur yang menghubungkan mereka dengan kawasan hutan lain. Untuk membentuk populasi yang berkelanjutan, setidaknya diperlukan sekitar 250 individu. Di Lumut Maju, jumlahnya bahkan belum mencapai setengahnya, yakni di bawah 100 individu.
BACA JUGA:Saat Krisis Iklim Menggila, Keanekaragaman Hayati Jadi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Meski begitu, keberadaan kelompok orangutan ini bisa menjadi penentu penting dalam upaya penyelamatan spesies. Jika mereka memiliki variasi genetik yang unik, kelompok ini berpotensi menjadi cadangan gen yang sangat berharga untuk keberlangsungan jangka panjang orangutan Tapanuli. Sebuah ironi sekaligus peluang, di tengah rawa gambut yang makin terdesak oleh ekspansi lahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News