Sampah Makanan Diam-Diam Merusak Iklim, Kita Baru Sadar Saat Sudah Terlambat

Sampah Makanan Diam-Diam Merusak Iklim, Kita Baru Sadar Saat Sudah Terlambat

Sampah makanan yang membusuk di TPA memproduksi metana, gas rumah kaca berdaya rusak tinggi. Pengomposan jadi solusi yang masih minim diterapkan.-Foto: Antara-

Biaya membangun TPA baru kian melonjak. Banyak kota bersiap menghadapi kemungkinan TPA penuh lebih cepat dari perkiraan. Jika itu terjadi, beban pembiayaan untuk membuka TPA baru bisa jauh lebih besar daripada membangun infrastruktur kompos sejak sekarang.

Selain itu, nilai “biaya sosial karbon” bukan harga tetap. Seiring pengetahuan mengenai dampak perubahan iklim berkembang, angka kerugian per ton karbon juga meningkat. Di masa depan, pengomposan mungkin terlihat jauh lebih murah dibandingkan saat ini. “Seiring kita mempelajari lebih lanjut tentang dampaknya, program pengomposan mungkin menjadi lebih murah dari segi lingkungan,” kata Somers.

BACA JUGA:Prabowo Warning ke Pejabat: Jangan Cari Untung di Atas Derita Korban Banjir Sumatera

Studi Somers memang fokus pada rumah tangga. Namun ia menegaskan bahwa sumber sampah organik terbesar sering datang dari restoran, toko swalayan, dan bisnis lain. Menurutnya, di titik itulah pengomposan bisa menghasilkan dampak paling nyata. “Di situlah saya pikir kita bisa melihat penghematan yang nyata. Saya pikir itu sesuatu yang harus kita pertimbangkan lebih dari yang kita lakukan,” tambahnya.

Manfaat yang Jarang Dibahas

Pengomposan juga membawa keuntungan lain. Kota dengan banyak sampah makanan biasanya menghadapi masalah kesehatan dan sanitasi seperti tikus dan hama lain. Kompos dapat membantu mengurangi risiko tersebut. “Menjauhkan tikus dan hama lainnya dari lingkungan tentu juga termasuk dalam perhitungan,” kata Somers.

Berapa banyak warga yang jatuh sakit karena tikus? Seberapa besar keresahan publik melihat hewan pengerat berkeliaran di jalanan? Faktor-faktor ini ikut menentukan urgensi program pengomposan.

Somers menegaskan setiap komunitas membutuhkan pendekatan berbeda. Demografi, geografi, serta kebiasaan lokal turut menentukan keberhasilan program pengomposan.

BACA JUGA:Hutan Tropis Negara Tetangga Ini Berbahaya, Dari Penyerap Jadi Penyumbang Polusi

Beberapa kota di Connecticut memungkinkan sampah kompos dijemput di pinggir jalan. Di daerah lain, warga harus membawa sampah organik ke titik pengumpulan. “Solusi yang cocok untuk semua orang bukanlah jawabannya,” kata Somers. Kondisi di Amerika Serikat tentu berbeda dengan Indonesia. Bahkan solusi di Bali dan Jakarta pun tidak bisa disamakan.

Pada akhirnya, urusan sampah makanan tidak melulu soal membuang. Yang menentukan justru apa yang terjadi setelahnya. Dan setiap kota, setiap keluarga, harus menentukan sendiri bagaimana masalah itu diatasi sebelum metana menjadi masalah yang lebih besar dari yang bisa ditangani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share