Ekonom Unand Kritik Redenominasi Rupiah: Ilusi Angka yang Tak Menambah Nilai Ekonomi

Ekonom Unand Kritik Redenominasi Rupiah: Ilusi Angka yang Tak Menambah Nilai Ekonomi

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai redenominasi rupiah hanya ilusi angka tanpa dampak riil terhadap daya beli dan produktivitas nasional.-Foto: Istimewa-

JAKARTA, PostingNews.id — Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai rencana pemerintah untuk mendorong redenominasi rupiah justru berpotensi mengalihkan fokus dari agenda utama pembangunan ekonomi nasional. I menyebut redenominasi hanyalah perubahan kosmetik yang tidak memberikan nilai tambah bagi perekonomian riil.

“Redenominasi tidak mengubah daya beli. Tidak mengubah pendapatan riil. Tidak mengubah harga relatif. Tidak menciptakan lapangan kerja. Tidak memperkuat struktur industri. Hanya mengubah angka yang tercetak di uang kertas, label harga, sistem akuntansi, dan papan pajak,” tulis Syafruddin dalam keterangan tertulis yang diterima PostingNews, Minggu, 9 November 2025.

Ia menjelaskan, kebijakan yang dikabarkan tengah disiapkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa itu akan memangkas tiga angka nol dari seluruh nominal mata uang rupiah. Namun, menurutnya, langkah tersebut lebih bersifat simbolik ketimbang substansial. “Bila semangkuk bakso seharga Rp20.000 kemudian menjadi Rp20, maka daya beli masyarakat tetap sama. Redenominasi hanya menukar tampilan, bukan substansi,” ujarnya.

Syafruddin menilai, argumentasi pemerintah yang menyebut redenominasi akan meningkatkan efisiensi sistem keuangan tidak didukung bukti empiris yang kuat. Ia berpendapat bahwa manfaat yang dijanjikan hanya bersifat psikologis, sementara biaya implementasinya sangat besar.

BACA JUGA:Anita Wahid: Soeharto Bukan Pahlawan, Tapi Simbol Otoritarianisme

“Negara harus mencetak ulang seluruh uang kertas dan koin. Sistem perbankan harus memperbarui software dan sistem pencatatan. Dunia usaha harus mengganti jutaan label harga, kontrak, kuitansi, dan laporan keuangan. Semua itu butuh dana besar, waktu lama, dan tenaga kerja tambahan,” paparnya.

Dalam masa transisi, Syafruddin memperingatkan potensi munculnya kekacauan administratif dan risiko kecurangan karena adanya dua mata uang yang berjalan bersamaan. Ia menilai masyarakat berisiko mengalami money illusion, atau persepsi keliru bahwa harga turun hanya karena angka nominal tampak lebih kecil.

“Di banyak negara, redenominasi dilakukan karena kebutuhan mendesak seperti hiperinflasi. Indonesia saat ini tidak berada dalam situasi itu. Inflasi tahunan berada dalam kisaran terkendali. Tidak ada urgensi ekonomi yang menuntut penghapusan nol,” jelasnya.

Alih-alih fokus pada perubahan angka, Syafruddin mendorong pemerintah memperkuat produktivitas nasional dan memperbaiki struktur ekonomi. Ia menekankan pentingnya membangun daya saing industri, memperkuat sumber daya manusia, dan memberantas korupsi sebagai langkah yang jauh lebih berdampak dibandingkan redenominasi.

BACA JUGA:NasDem Belum Mau PAW Sahroni dan Nafa Meski MKD Sudah Sanksi Etik

“Produktivitas nasional tidak akan membaik hanya karena angka di mata uang dirapikan. Yang dibutuhkan adalah efisiensi birokrasi, kepastian hukum, dan kebijakan yang mendorong pelaku usaha untuk berkembang,” katanya.

Ia juga mempertanyakan efektivitas redenominasi terhadap penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya saing ekonomi. “Apakah redenominasi akan menciptakan insentif baru bagi investasi asing? Tidak. Apakah redenominasi akan memperkuat daya saing ekspor Indonesia? Tidak. Apakah redenominasi akan membuka jutaan lapangan kerja baru? Sama sekali tidak,” tulisnya.

Syafruddin menegaskan, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk proses redenominasi seharusnya dialokasikan untuk program yang lebih strategis, seperti subsidi pertanian, perbaikan infrastruktur, dan digitalisasi UMKM. Menurutnya, fokus pemerintah seharusnya bukan pada gengsi administratif, melainkan pada transformasi ekonomi yang berkelanjutan.

Kebijakan ekonomi tidak boleh sekadar mengikuti selera simbolik atau keinginan terlihat modern. Apalagi jika yang dikorbankan adalah stabilitas fiskal dan konsentrasi pemerintah terhadap program pembangunan jangka panjang,” tulisnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News