Amin Ak: Manufaktur Masih Jadi Andalan, Tapi Napasnya Pendek Dihimpit Impor Murah

Amin Ak: Manufaktur Masih Jadi Andalan, Tapi Napasnya Pendek Dihimpit Impor Murah

Amin Ak menilai industri manufaktur masih jadi andalan ekonomi, namun tertekan impor murah dan kebijakan fiskal yang belum sinkron.-Foto: fraksi.pks.id-

JAKARTA, PostingNews.id — Industri manufaktur masih berdiri tegak di papan atas penyumbang ekonomi nasional. Angkanya belum runtuh. Hingga penghujung 2025, sektor ini masih menyumbang 17,39 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Tapi di balik angka yang tampak kokoh itu, denyut industrinya tidak sedang dalam kondisi prima.

Dalam beberapa tahun terakhir, laju pertumbuhan manufaktur cenderung tertahan. Bukan ambruk, tapi melambat. Di saat yang sama, arus barang impor justru makin deras memasuki pasar domestik. Situasi ini membuat industri nasional seperti dipaksa berlari di lintasan yang tidak rata.

Anggota Komisi XI DPR RI Amin Ak melihat persoalan ini tidak bisa sekadar disederhanakan sebagai dampak ekonomi global. Menurutnya, ada masalah di rumah sendiri yang tak kunjung dibereskan. Ketidaksinkronan antara kebijakan fiskal dan perdagangan membuat industri manufaktur sulit bernapas panjang.

“Manufaktur kita masih hidup, tapi napasnya pendek. Biaya produksi tinggi, sementara pasar domestik dibanjiri barang impor,” kata Amin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat 19 Desember 2025.

BACA JUGA:Banjir Sumatra Jadi Pembeda, Cara Prabowo Tangani Bencana Tak Lagi Seperti Zaman SBY

Bank Indonesia mencatat sektor manufaktur memang masih berada di zona ekspansi berdasarkan Purchasing Managers’ Index. Namun catatan BI juga menunjukkan ada beban berat yang menahan laju industri sepanjang 2025. Tekanan biaya input dan persaingan dengan produk impor menjadi faktor yang paling terasa di lapangan.

Amin menyoroti persoalan mendasar yang selama ini luput dari perhatian publik. Struktur tarif impor dinilainya timpang. Banyak industri manufaktur dalam negeri masih menggantungkan diri pada bahan baku impor. Ironisnya, bahan baku tersebut justru dikenai bea masuk yang tidak ringan. Ongkos produksi pun melonjak, sementara ruang margin kian tergerus.

Pada saat yang sama, barang jadi impor justru lebih leluasa masuk ke pasar dalam negeri. Sejumlah produk bahkan menikmati tarif nol persen sebagai konsekuensi dari berbagai perjanjian dagang yang diikuti Indonesia, mulai dari kawasan ASEAN hingga mitra di Eropa.

“Industri kita dipajaki di hulu, lalu ditinggal bertarung sendiri di hilir. Ini bukan persoalan daya saing semata, tapi desain kebijakan,” ujar Amin.

BACA JUGA:Impor BBM 2026 Mulai Dihitung, Bahlil Kasih Sinyal Keras ke SPBU Swasta yang Bandel

Catatan Kementerian Keuangan selama ini memang menunjukkan liberalisasi perdagangan membuka akses pasar yang lebih luas. Namun kebijakan itu juga membawa konsekuensi. Tanpa penyeimbang yang tepat, arus perdagangan bebas justru bisa menekan industri domestik, terutama manufaktur skala menengah yang belum efisien dari sisi skala produksi.

Melihat situasi tersebut, Amin mendorong koreksi arah kebijakan yang lebih terukur. Ia menilai pemerintah perlu berani menyentuh area yang selama ini dianggap sensitif. Salah satu langkah yang dinilai mendesak adalah pembebasan atau penurunan bea masuk untuk bahan baku tertentu yang memang belum tersedia di dalam negeri.

“Impor bahan baku itu justru harus dipermudah. Kalau input mahal, jangan berharap output kita bisa bersaing,” tegasnya.

Sebaliknya, untuk barang jadi impor, Amin menyarankan penggunaan instrumen non-tariff barrier secara sah dan selektif. Mulai dari pengetatan standar teknis, kewajiban sertifikasi, hingga penguatan aturan asal barang. Instrumen ini dinilai lebih lentur dan tetap sejalan dengan komitmen perdagangan internasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share