Bencana Rp 51 Triliun tapi 'Jual Mahal'? Drama Bantuan Arab Ditolak Bikin Netizen Geleng Kepala, Korban Butuh Makan Woy!

Bencana Rp 51 Triliun tapi  'Jual Mahal'? Drama Bantuan Arab Ditolak Bikin Netizen Geleng Kepala, Korban Butuh Makan Woy!

Banjir Sumatera membuka sorotan pada izin tambang dan usaha di bantaran sungai. Istana akui penertiban perizinan jadi pekerjaan rumah.-Foto: Antara-

POSTINGNEWS.ID --- Sobat, bayangkan situasi ini: Rumah hancur, jalan putus, perut lapar, dan saudara kita hilang terseret arus.

Dalam kondisi darurat seperti itu, apakah kita masih peduli siapa yang kasih nasi bungkus? Mau itu dari tetangga sebelah atau dari sultan Arab, yang penting perut terisi, kan? Tapi, logika sederhana ini sepertinya nggak berlaku di meja birokrasi kita.

Banjir bandang yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan lagi sekadar bencana alam biasa. Ini sudah jadi tragedi kemanusiaan level akut. Korban jiwa tembus 1.000 orang, kerugian materi mencapai angka fantastis Rp 51,6 triliun. Tapi di tengah tangisan 770 ribu pengungsi, justru muncul drama diplomasi yang bikin dahi berkerut: Pemerintah kita dituding "dingin" merespons uluran tangan negara-negara Arab.

BACA JUGA:Banjir Sumatra Jadi Pembeda, Cara Prabowo Tangani Bencana Tak Lagi Seperti Zaman SBY

Sultan Arab Mau Bantu, Kita Bilang "Nanti Dulu"?

Jujur saja, sikap Jakarta kali ini bikin banyak pihak bingung. Media internasional sekelas Middle East Monitor sampai menyoroti betapa alotnya proses penerimaan bantuan ini.

Padahal, tawaran bantuan itu datang dari "raja-raja minyak" lho. Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS), dan Raja Salman sudah langsung telepon Presiden Prabowo buat sampaikan simpati. Duta Besar Uni Emirat Arab (UEA), Abdullah Salem Al Dhaheri, juga sudah siap kirim tim medis dan logistik secepat kilat.

Tapi apa respons kita? Lewat Menlu Sugiono dan Mensesneg Prasetyo Hadi, pemerintah mengeluarkan statement yang cukup pede: "Bantuan internasional masih belum diperlukan."

Waduh! Padahal di lapangan, akses jalan hancur lebur dan banyak titik isolasi yang belum tersentuh. Sikap "mandiri" itu bagus, Sobat. Tapi kalau over-confidence di saat rakyat sekarat, apakah itu bijak? Atau ini cuma masalah gengsi diplomatik semata?

BACA JUGA:Penanganan Bencana Masih Payah, Seskab Teddy Ajak Warga Turun Tangan dan Jangan Saling Menyalahkan

Heboh Drama Beras 30 Ton di Medan

Puncak kekesalan publik meledak saat ada kabar viral soal 30 ton beras bantuan UEA yang sempat "mental" di Pemkot Medan. Isunya simpang siur, dibilang ditolak lah, dikembalikan lah.

Mendagri Tito Karnavian buru-buru pasang badan buat meluruskan benang kusut ini. Beliau bilang, beras itu bukan ditolak, tapi dialihkan pengelolaannya ke Muhammadiyah Medical Center.

"Nanti Muhammadiyah yang bagikan lewat sentra kemanusiaan mereka," klarifikasi Pak Tito.

Oke, niatnya mungkin baik biar penyalurannya rapi. Tapi komunikasi publik yang mbulet bikin rakyat mikir: "Kenapa sih harus ribet? Ormas kayak Muhammadiyah justru lebih sat-set dibanding birokrasi pemerintah yang kaku." Di saat genting, kecepatan adalah kunci, bukan prosedur seremonial.

BACA JUGA:Risma Buka Peta Bencana, Katanya Hampir Tak Ada Wilayah Indonesia yang Benar-Benar Aman

Stop Politisasi Bencana!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share