Perubahan Iklim Bikin Karang Angkat Bendera Putih, Dampaknya Menghantam Laut dan Manusia

Perubahan Iklim Bikin Karang Angkat Bendera Putih, Dampaknya Menghantam Laut dan Manusia

Pemutihan karang akibat perubahan iklim makin meluas. Dampaknya bukan cuma ke laut, tapi juga pangan, ekonomi pesisir, dan perlindungan manusia.-Foto: Greenpeace/New Scientist-

JAKARTA, PostingNews.id – Sekelompok ikan Cavalla masih berenang seperti biasa di perairan dekat Pulau Heron, Australia. Tapi di bawah mereka, hamparan Stony Coral tak lagi menampilkan warna-warni khas laut tropis. Karang itu memutih, seperti kehilangan nyawa. Pemandangan ini bukan kejadian langka. Dua pertiga Great Barrier Reef kini tercatat telah terdampak pemutihan, sebuah gangguan serius yang memutus hubungan saling menguntungkan antara karang dan alga yang hidup di dalam jaringannya.

Pemutihan karang kini menjadi salah satu wajah paling kasat mata dari perubahan iklim. Terumbu yang dulu penuh warna pelan-pelan berubah menjadi bentangan putih pucat yang sekarat. Masalahnya bukan cuma soal laut yang tampak rusak. Krisis ini menjalar ke mana-mana, mengancam sumber pangan, ekonomi pesisir, hingga perlindungan alami yang selama ini menahan amukan gelombang bagi jutaan manusia.

Dalam dua tahun terakhir, sekitar 84 persen terumbu karang dunia tercatat mengalami stres panas. Angka itu membuat pertanyaan lama kembali mendesak, seberapa besar harga yang harus dibayar laut dan manusia ketika karang mulai kehilangan kemampuannya untuk bertahan hidup?

Karang tropis sebenarnya dikenal sebagai bangunan hidup yang penuh warna. Merah, jingga, merah muda, hingga ungu cerah berasal bukan dari karang itu sendiri, melainkan dari alga mikroskopis yang hidup menempel di dalam jaringannya. “Karang memiliki hubungan simbiosis dengan alga kecil yang disebut zooxanthellae,” ujar Molly Timmers, ekolog laut dari proyek Pristine Seas, dikutip dari National Geographic, Senin, 15 Desember 2025.

BACA JUGA:Puluhan Tahun Berlalu, Kasus HAM Berat Masih Gelap, KemenHAM Akui Belum Mampu Menutup Luka Sejarah

Alga ini bekerja mengubah cahaya matahari menjadi energi melalui fotosintesis, lalu membaginya dengan karang. Sekitar 90 persen energi yang dipakai karang berasal dari kerja sama senyap ini.

Namun hubungan itu rapuh. Ketika suhu laut naik dan bertahan terlalu lama, karang mulai stres. Dalam kondisi tertekan, karang justru mengusir alga yang selama ini menopang hidupnya. Jaringan karang pun berubah putih dan menjadi sangat rentan. “Ketika karang stres, itu seperti kita sedang sakit,” kata Timmers. “Saat memulihkan diri, tubuh kita berkeringat. Karang juga bereaksi dengan cara yang serupa: mereka mengeluarkan alganya.”

Pemutihan tidak serta-merta membunuh karang. Pada tahap awal, karang masih hidup, meski kondisinya jauh dari sehat. “Mereka masih hidup, tetapi seperti berada pada fase perawatan intensif,” ujar Michael Sweet, profesor biologi akuatik dari University of Derby. 

Tanpa alga, kemampuan karang untuk berkembang biak dan memproduksi lendir pelindung menurun drastis. Lendir ini berfungsi seperti ingus pada manusia, menjadi tameng alami dari bakteri berbahaya di laut. Ketika perlindungan itu hilang, penyakit mudah menyerang. Jika suhu dan kondisi air kembali normal dengan cepat, alga bisa kembali. Namun jika tidak, karang akan kelaparan. “Karang bisa tiba-tiba berhenti berfungsi dan mati seketika,” kata Sweet.

BACA JUGA:Urusan Limbah Kini Jadi Taruhan, Kemenperin Desak Industri Beralih ke Ekonomi Sirkular

Pemanasan laut akibat perubahan iklim menjadi pemicu utama pemutihan. Tapi daftar penyebabnya tidak berhenti di situ. Polusi, pengasaman laut, sedimentasi, hingga perubahan salinitas dan kualitas air ikut mempercepat kerusakan. Bahkan paparan udara saat surut ekstrem bisa cukup untuk membuat karang memutih.

Dalam sejarah terbaru, pemutihan massal muncul semakin sering dan semakin luas. Peristiwa global tercatat pada 1998 dan 2010. Yang terpanjang terjadi pada 2014 hingga 2017, ketika dua pertiga Great Barrier Reef rusak. Gelombang terbaru datang pada 2023 hingga 2024, dipicu panas laut yang belum pernah tercatat sebelumnya. Di bagian selatan Great Barrier Reef, delapan dari sepuluh koloni karang mengalami pemutihan. Para ahli khawatir kemampuan terumbu untuk pulih semakin menipis, sementara tekanan lingkungan terus meningkat.

Terumbu karang sendiri bukan sekadar hiasan laut. Ia menjadi rumah bagi seperempat kehidupan laut dunia. Struktur karang menyediakan tempat tinggal, lokasi mencari makan, area berkembang biak, hingga ruang aman bagi anakan ikan. “Seperti perbedaan antara gedung apartemen 20 lantai dan rumah satu lantai,” ujar Timmers. Ketika karang mati, rumah itu runtuh. Spesies yang bisa berenang jauh akan pergi, sementara yang tak bisa berpindah berisiko punah. Rantai makanan pun terguncang. “Segalanya menjadi kacau,” katanya.

Bagi masyarakat pesisir, dampaknya terasa langsung. Hilangnya terumbu berarti berkurangnya ikan, lenyapnya mata pencaharian, dan surutnya pariwisata. Dampaknya juga menyentuh sisi budaya. Bagi sejumlah masyarakat adat, terumbu bukan sekadar sumber daya, melainkan bagian dari identitas dan cerita kosmologi. Dalam kisah penciptaan masyarakat Hawai‘i, polip, makhluk kecil penyusun karang, digambarkan sebagai hewan pertama yang diciptakan.

BACA JUGA:Angka Inflasi Indonesia Diklaim Jinak tapi Dompet Rakyat Seret, Amin Ak Pasang Alarm Soal Daya Beli

Kerusakan karang juga membuat pantai kehilangan perisai alaminya. Terumbu berfungsi memecah gelombang dan mampu mengurangi energi ombak hingga 97 persen. Tanpa karang, gelombang menghantam daratan dengan kekuatan penuh, meningkatkan risiko abrasi dan banjir pesisir.

Berbagai upaya kini dicoba untuk memperlambat kehancuran. Para ilmuwan bereksperimen dengan memberi bayangan pada karang menggunakan semacam payung bawah air, menyimpan spesies rentan di biobank, hingga memindahkan karang tahan panas ke lokasi lain untuk restorasi. Pengelolaan kawasan konservasi, perikanan, dan pengendalian polusi juga menjadi bagian penting dari strategi bertahan.

Ada pula pendekatan yang lebih ekstrem, seperti teknik cloud brightening untuk mencerahkan awan di atas terumbu agar memantulkan lebih banyak cahaya matahari. Tujuannya menurunkan suhu air, meski metode ini menuai kritik karena berpotensi mengganggu pola cuaca.

Bagi Sweet, semua upaya itu tetap tidak cukup jika akar masalahnya diabaikan. “Pencegahan lebih baik daripada mengobati. Kita harus menangani perubahan iklim. Itu harus menjadi prioritas utama.” Meski kerusakan yang terjadi terasa menghancurkan, para ahli masih melihat celah harapan. “Apa yang terjadi memang menghancurkan,” kata Timmers, “tetapi masih ada harapan.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share