Banjir Sumatera Bukan Salah Hujan, Tapi Konflik Agraria yang Sudah Menggunung
Banjir Sumatera dipicu rusaknya kawasan hulu akibat konflik agraria dan ekspansi lahan. Ratusan korban tewas menegaskan krisis ekologis makin parah.-Foto: Dok. BPBD Kabupaten Agam-
JAKARTA, PostingNews.id — Bencana banjir dan longsor yang merendam tiga provinsi di Sumatera ternyata bukan sekadar urusan hujan deras yang kebetulan turun bersamaan. Di balik air bah yang menyeret rumah, jembatan, dan nyawa warga, ada persoalan lama yang selama ini hanya ramai di seminar tetapi sepi penyelesaian, yakni konflik agraria dan penyusutan hutan yang makin menjadi.
Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dihantam banjir dan longsor pada akhir November 2025. Hingga Rabu 3 Desember 2025 siang, BNPB mencatat 770 orang meninggal dan 463 lainnya hilang. Angka ini cukup membuat siapa saja berpikir bahwa ada yang tidak beres pada tata ruang dan penggunaan lahan di daerah tersebut.
Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA Benny Wijaya tidak ragu menyebut bencana ini sebagai alarm keras. “Banjir yang meluluhlantakkan ketiga provinsi ini adalah sinyal darurat atas krisis agraria dan ekologis yang semakin parah” ujarnya Rabu, 3 Desember 2025. Krisis agraria yang ia sebut merujuk pada konflik pemanfaatan dan penguasaan tanah yang bertahun-tahun tidak selesai.
Menurut Benny, penguasaan lahan skala besar oleh korporasi di sektor perkebunan dan pertambangan tidak hanya menyalakan konflik dengan warga, tetapi juga melemahkan kawasan hulu yang mestinya berfungsi menyerap air. Ketika tutupan hutan terus menyusut, daerah resapan berubah menjadi kebun kayu eukaliptus, kebun sawit, atau lahan gundul. Begitu datang cuaca ekstrem, air tidak punya tempat bersandar selain menghantam pemukiman.
BACA JUGA:Pemerintah Klaim Tak Butuh Uluran Asing untuk Tangani Banjir Sumatera Meski Korban Terus Bertambah
Keterkaitan antara bencana dan konflik agraria tampak dari tingginya letusan konflik di wilayah terdampak. “Dua dari tiga provinsi yang mengalami banjir saat ini merupakan provinsi dengan letusan konflik agraria tertinggi di Indonesia pada 2024, yakni Sumatera Utara dan Sumatera Barat” kata Benny.
KPA mencatat 32 letusan konflik agraria terjadi sepanjang 2024 di Sumut. Sebagian besar dipicu operasi perkebunan sawit yang menyumbang 11 kasus. Sisanya berhubungan dengan pembebasan lahan untuk infrastruktur, perkebunan kehutanan, dan tambang.
Di Sumbar, sepanjang 2024 terjadi 12 letusan konflik agraria, 10 di antaranya berkaitan dengan aktivitas perusahaan perkebunan. Catatan sepuluh tahun terakhir milik KPA menampilkan angka yang lebih mengerikan. Terdapat sedikitnya 3.234 letusan konflik agraria yang melibatkan wilayah seluas 7,4 juta hektar dan berdampak pada 1,8 juta keluarga. Setengah dari konflik itu, atau 1.733 kasus, dipicu operasi perusahaan perkebunan, konsesi tambang, dan Hutan Tanaman Industri.
Direktur Eksekutif KSPPM Rocky Pasaribu menunjukkan bagaimana tutupan hutan di beberapa wilayah Sumut menurun drastis. Ia dan timnya menganalisis kondisi hutan di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah sejak 1990. Hasilnya tidak membahagiakan.
BACA JUGA:Puan Semprot Kepala BNPB Soal Komentar Banjir Sumatera yang Dianggap Cuma Mencekam di Medsos
Di Tapanuli Selatan, 46.640 hektar hutan alam hilang dalam tiga dekade terakhir. Kehilangan terbesar terjadi pada 1990-2000 ketika 26.223 hektar lenyap, disusul 10.672 hektar pada 2000-2010. Pergeseran ini sejalan dengan masuknya berbagai penggunaan lahan baru.
“Selama itu, terjadi penambahan kebun sawit seluas 42.034 hektar, perluasan kebun kayu eukaliptus sebesar 1.107 hektar, serta identifikasi 298 lubang tambang” ujar Rocky. Di Tapanuli Tengah, kondisi serupa juga ditemukan. Sejak 1990 hingga 2024, wilayah ini kehilangan sekitar 16.137 hektar hutan alam.
“Bencana ekologis ini harusnya jadi momentum bagi pemerintah Indonesia, agar segera menyelesaikan krisis agraria, sebelum Bencana ekologis terjadi di berbagai wilayah” kata Rocky. Menurutnya, kebijakan pencegahan harus diperbaiki agar negara tidak terus-terusan menjadi pemadam kebakaran setiap terjadi bencana besar.
Desakan penyelesaian konflik agraria kini disuarakan berbagai organisasi masyarakat sipil. Mereka mendorong evaluasi dan moratorium izin konsesi yang dianggap memonopoli hutan Indonesia. Seruan itu datang dari KPA, KSPPM, dan BPRPI. Perempuan Rakyat Penunggu, YRBI Aceh, SETIA, serta SPR menuntut hal serupa, termasuk pemulihan wilayah adat yang rusak akibat pembukaan lahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News