PBB Nobatkan Jakarta Kota Terpadat Dunia, Rasanya Sudah Begitu Sejak Sebelum Ada Laporan
Jakarta dinobatkan PBB sebagai kota terpadat dunia. Warga mengaku kepadatan ini sudah terasa sejak lama lewat macet, polusi, dan krisis layanan dasar.-Foto: Purnawarta-
JAKARTA, PostingNews.id — Setiap pagi Jakarta selalu punya cara sendiri untuk mengingatkan warganya bahwa hidup di kota ini butuh kesabaran ekstra. Belum sempat membuka jendela, suara kendaraan sudah masuk duluan, menyusul langkah orang-orang yang buru-buru seperti sedang mengejar sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa diraih.
Dengan rutinitas seperti itu, kabar PBB yang menobatkan Jakarta sebagai kota terpadat di dunia tak membuat banyak orang kaget. Warga justru merasa laporan itu datang terlambat, sebab mereka sudah lebih dulu merasakannya di peron stasiun yang sesak, trotoar yang makin menyempit, hingga antrean air bersih yang seolah tak pernah habis—semua menegaskan betapa padatnya napas kota ini.
Di balik lampu-lampu gedung yang berkilau setiap malam, ada jutaan kisah manusia yang berusaha terlihat baik-baik saja di kota yang bahkan tak menyediakan ruang untuk jeda. Pengamat tata kota, M. Azis Muslim, pun ikut tertawa kecil saat ditanya soal kenyamanan tinggal di ibu kota yang semakin rapat ini. Ia menyebut, menjawab pertanyaan itu adalah hal yang “gampang-gampang susah”.
Laporan PBB bertanggal 18 November 2025 menempatkan Jakarta sebagai kota dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Totalnya mendekati 42 juta jiwa. Lonjakan angka ini bukan muncul tiba-tiba, melainkan hasil perubahan metode PBB dalam mendefinisikan “kota” mulai tahun ini.
BACA JUGA:Tiga Bupati di Aceh Angkat Tangan Atasi Banjir, Tito: Enggak Nyerah-nyerah Banget Kok
Untuk pertama kalinya, PBB meninggalkan seluruh definisi nasional yang selama ini dipakai negara masing-masing. Mulai 2025, semua kota diukur dengan standar global tunggal bernama Degree of Urbanization atau DEURB.
Metodenya menggunakan grid 1 km × 1 km dari citra satelit dan data kepadatan penduduk. Jika satu kotak memenuhi minimal 1.500 jiwa per km² dan bersinggungan dengan kotak serupa, maka otomatis masuk ke wilayah “kota”. Yang dianggap kota bukan lagi batas administratif, melainkan area metropolitan yang benar-benar menyatu atau built-up area.
Kaget bukan hanya warga, Pemprov DKI pun sempat kebingungan membaca angka penduduk ala PBB yang tiba-tiba melonjak beberapa kali lipat dari data pemerintah daerah. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, kembali menegaskan data resmi mereka jauh berbeda.
“Data BPS kami kan, Jakarta itu 11 juta,” paparnya belum lama ini.
BACA JUGA:Dari Karung Beras sampai Rompi Taktis, Gaya Pejabat di Lokasi Banjir Sudah Seperti Sinetron
Perbedaan mencolok itu tak lain karena metode PBB memasukkan wilayah aglomerasi Jabodetabek secara utuh.
“Dihitung dari ini kan, Depok, Bekasi, kemudian Bogor,” jelas Rano.
Meski angka 42 juta itu terasa fantastis, satu hal yang tak bisa dibantah adalah kota ini memang padat—bahkan tanpa bantuan statistik global. Kemacetan, misalnya, sudah jadi ritual harian. Pada Agustus 2025, Rano pernah menyebut kerugian ekonomi akibat macet di Jakarta bisa tembus Rp100 triliun per tahun.
“Setara dengan 4 persen PDB Jabodetabek, atau 6 kali biaya pembangunan MRT fase pertama senilai Rp16 triliun,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News