Membaca Kompas Etika Kaum Ateis

Membaca Kompas Etika Kaum Ateis

Penelitian global membantah stereotip bahwa ateis tak bermoral, menunjukkan mereka punya kompas etika sendiri seperti kaum beragama.-Gambar dibuat oleh AI untuk PostingNews.id-

JAKARTA, PostingNews.id — Kepercayaan yang telah lama beredar di berbagai budaya dunia kerap menempatkan kaum ateis di posisi yang tidak menguntungkan. Mereka sering dipersepsikan tidak memiliki pedoman moral, bahkan dianggap tidak dapat dipercaya. Stereotip itu menyebar luas, mengakar dalam pandangan sosial, dan sering dijadikan dasar stigma. Padahal, hingga kini belum ada bukti ilmiah yang benar-benar mendukung pandangan tersebut.

Pertanyaan tentang apakah ateis benar-benar “tidak bermoral” menjadi perhatian serius seorang ilmuwan sosial bernama Tomas Stahl dari University of Illinois di Chicago. Ia memutuskan meneliti hal ini secara sistematis melalui riset lintas negara. Penelitiannya kemudian dipublikasikan dalam jurnal akses terbuka PLOS ONE pada 24 Februari 2021 dengan judul The amoral atheist? A cross-national examination of cultural, motivational, and cognitive antecedents of disbelief, and their implications for morality.

Dalam riset tersebut, Stahl menulis bahwa di banyak masyarakat, terdapat stereotip lintas budaya yang menggambarkan ateis sebagai individu tanpa moralitas. “Apakah ada kebenaran untuk gagasan ini? Membangun teori tentang anteseden budaya, (de)motivasi, dan kognitif dari ketidakpercayaan, penelitian ini menyelidiki apakah ada persamaan yang dapat diandalkan serta perbedaan antara orang yang beriman dan orang yang tidak percaya dalam nilai dan prinsip moral yang mereka dukung,” tulis Stahl dalam laporannya.

Penelitian yang dilakukannya mengungkap bahwa baik ateis maupun teis (penganut kepercayaan terhadap Tuhan) sebenarnya berbagi sejumlah nilai moral yang sama, terutama dalam hal melindungi individu yang rentan. Namun, terdapat perbedaan penting dalam dasar penilaian moral keduanya. Ateis cenderung lebih menilai moralitas tindakan berdasarkan konsekuensi, sementara teis lebih mengedepankan nilai-nilai moral yang mendukung kohesi kelompok—seperti kesetiaan, ketaatan, dan kesucian.

BACA JUGA:Anita Wahid: Soeharto Bukan Pahlawan, Tapi Simbol Otoritarianisme

Untuk mendapatkan hasil yang meyakinkan, Stahl melakukan dua survei terhadap 429 ateis dan teis di Amerika Serikat melalui platform Amazon Mechanical Turk. Ia kemudian memperluas penelitiannya melalui dua survei besar yang melibatkan lebih dari 4.000 responden dari Amerika Serikat—negara dengan mayoritas beragama—dan Swedia—negara yang mayoritas tidak beragama.

“Hasilnya juga menunjukkan bahwa orang-orang ateis versus orang-orang beriman memiliki pandangan moralitas yang lebih konsekuensialis di kedua negara,” tulis Stahl menjelaskan dalam publikasinya.

Secara umum, analisanya menemukan bahwa kaum teis lebih cenderung mendukung nilai-nilai moral yang menekankan solidaritas sosial, sedangkan ateis lebih banyak menimbang moralitas berdasarkan hasil dan dampak tindakan. Kendati demikian, kedua kelompok tetap memiliki kesamaan pandangan mengenai pentingnya perlindungan terhadap individu lemah, kebebasan versus penindasan, serta nilai-nilai rasional yang berlandaskan bukti empiris.

Temuan ini memberikan petunjuk menarik tentang bagaimana “kompas moral” kedua kelompok terbentuk. Menurut Stahl, perbedaan antara teis dan ateis bisa jadi disebabkan oleh tingkat keterlibatan dalam komunitas keagamaan, perbedaan gaya berpikir, dan tingkat ancaman eksistensial yang mereka rasakan. “Perbedaannya mungkin sebagian berasal dari peningkatan keterpaparan teis terhadap keterlibatan komunitas dalam perilaku berbasis keyakinan yang akan mahal jika keyakinan itu salah, seperti menghadiri pertemuan keagamaan,” tulisnya.

BACA JUGA:Ekonom Unand Kritik Redenominasi Rupiah: Ilusi Angka yang Tak Menambah Nilai Ekonomi

Dengan kata lain, seseorang yang sering terlibat dalam aktivitas religius akan lebih mudah mengaitkan moralitas dengan norma sosial atau kelompoknya. Sebaliknya, individu ateis yang tidak terikat pada struktur keagamaan akan lebih menilai moralitas berdasarkan logika sebab-akibat atau prinsip utilitarian.

Namun yang paling menarik, hasil riset ini justru membantah klaim bahwa ateis tidak memiliki moralitas. Temuan Stahl menegaskan bahwa mereka memiliki keprihatinan moral yang serupa dengan orang beriman—terutama dalam hal keadilan dan perlindungan terhadap sesama manusia.

“Pesan yang paling umum untuk diambil dari studi ini adalah bahwa orang yang tidak percaya pada Tuhan memiliki kompas moral. Faktanya, mereka memiliki banyak masalah moral yang sama dengan yang dimiliki oleh penganut agama,” kata Ståhl dalam wawancara yang dikutip Science Daily.

Ia menambahkan bahwa kekhawatiran moral kaum ateis sama nyatanya dengan kaum religius. “Seperti kekhawatiran tentang keadilan dan tentang melindungi individu yang rentan dari bahaya. Namun, orang-orang ateis kurang cenderung daripada orang percaya untuk mendukung nilai-nilai moral yang melayani kohesi kelompok, seperti menghormati otoritas, kesetiaan dalam kelompok, dan kesucian.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News