Gerakan 17+8 Jadi Mesin Kontrol Kekuasaan Baru Bagi Demokrasi Indonesia

Gerakan 17+8 Jadi Mesin Kontrol Kekuasaan Baru Bagi Demokrasi Indonesia

Gerakan 17+8 bukan sekadar demo, tapi berubah jadi mesin kontrol kekuasaan baru bagi demokrasi Indonesia di era digital.-Foto: IG @kontras_update-

JAKARTA, PostingNews.id – Sejak 25 Agustus 2025, gelombang demonstrasi di berbagai daerah tidak berhenti mengguncang. Hampir setiap hari massa turun ke jalan dengan satu nada perubahan. Mereka sudah berhadapan langsung dengan pejabat, dari pimpinan DPR sampai Menteri Sekretaris Negara. Tuntutan yang awalnya digemakan di jalan, akhirnya sampai juga ke telinga pembuat kebijakan.

Sorotan terbesar tentu pada 17+8 tuntutan rakyat. Ini lahir dari jagat media sosial, digaungkan para pegiat dan pemengaruh. Deadline 17 tuntutan jangka pendek resmi berakhir Jumat, 5 September 2025 sementara 8 tuntutan jangka panjang punya waktu setahun.

Menurut platform Bijak Memantau, hingga Sabtu kemarin, baru tiga dari 17 tuntutan yang benar-benar terpenuhi:

  1. Pembekuan kenaikan gaji/tunjangan DPR plus pembatalan fasilitas baru,
  2. Transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR) yang dipublikasikan rutin,
  3. Mahkamah Kehormatan DPR agar memeriksa anggota yang melecehkan aspirasi rakyat.

BACA JUGA:Peneliti Nilai Pemangkasan Tunjangan DPR Bisa Jadi Momentum Reformasi

Sementara itu, tuntutan kepada pemerintah masih banyak yang macet. Publik menunggu Presiden membentuk tim investigasi independen kasus Affan Kurniawan, Umar Amarudin, dan korban kekerasan aparat lainnya pada 28–30 Agustus. Ada juga desakan agar TNI kembali ke barak serta disiplin internal benar-benar ditegakkan.

Dari Demo ke Situs Pantau

Gerakan tak berhenti di jalan. Komunitas sipil memanfaatkan internet untuk mengawal janji. Situs bijakmemantau.id menampilkan detail 25 tuntutan, dengan kategori: baru dimulai, mundur, belum digubris, hingga kawal terus. Ada juga situs lain: rakyatmenuntut.netindonesiademands.comtuntutanrakyat.space.

Media sosial memperluas ruang kontrol: semua orang bisa ikut menilai apakah eksekutif dan legislatif betul-betul kerja atau sekadar manuver. Dari sini, unjuk rasa bergeser menjadi gerakan demokrasi digital.

Arie Sujito, sosiolog UGM, membaca ini sebagai babak baru demokratisasi. ”Dengan informasi, bisa membuat artikulasi yang digunakan untuk negosiasi dan memengaruhi kebijakan. Dampak dari ini semua, semua orang bisa mendapatkan informasi dan bicara dengan kreativitas masing-masing,” tuturnya kepada wartawan, Sabtu, 6 September 2025.

BACA JUGA:Komnas HAM: Jumlah Korban Jiwa Demo Agustus 2025 Masih 10 Orang

Arie menekankan, beda dengan 1998 yang diawali krisis ekonomi lalu memicu krisis politik, kali ini justru krisis politik menahun yang dipertajam oleh krisis ekonomi.

Menurutnya, kemerosotan demokrasi sudah lama dirasakan, antara lain oligarki, korupsi, dan lemahnya respons atas kritik. Selama ini publik diminta maklum. Tapi ketika ditambah dengan krisis ekonomi, ledakan pun tak terelakkan.

Ia mencontohkan, transfer fiskal yang seret membuat pemerintah daerah menaikkan pajak semena-mena, seperti di Pati. Tambahkan lagi problem PHK massal, lapangan kerja sempit, hingga pengelolaan BUMN lewat Danantara yang dianggap tak efisien.

”Krisis politik sudah terjadi lama, tapi orang disuruh memaklumi saja. Ketika krisis politik bertemu krisis ekonomi, perlawanan rakyat muncul, ada percepatan reaksi gerakan perlawanan,” kata Wakil Rektor UGM itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News