Banjir dan Longsor Tinggalkan Luka Sunyi, Penyintas Sumatra Butuh Pendampingan Jiwa

Banjir dan Longsor Tinggalkan Luka Sunyi, Penyintas Sumatra Butuh Pendampingan Jiwa

Banjir dan longsor di Sumatra tak hanya rusak fisik. Trauma psikologis penyintas butuh pendampingan jiwa dan dukungan berkelanjutan.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id — Lumpur belum sepenuhnya mengering, rumah-rumah masih porak-poranda, dan hujan yang datang belakangan kerap memicu rasa waswas. Bencana banjir dan tanah longsor di Sumatra tak hanya meninggalkan puing dan kerugian materi, tetapi juga luka yang lebih sunyi dan kerap luput diperhatikan, yakni trauma psikologis para penyintas.

Di balik tenda-tenda pengungsian, banyak korban masih bergulat dengan rasa takut, cemas, dan kehilangan yang datang bertubi-tubi. Bagi sebagian orang, bencana tak berhenti saat air surut. Ia terus hidup di kepala dan perasaan, muncul kembali lewat ingatan, mimpi buruk, atau kecemasan yang tiba-tiba menyeruak.

Sri Hartini, psikiater sekaligus dosen Fakultas Kedokteran IPB University, menjelaskan bahwa berdasarkan berbagai penelitian, reaksi stres akut dan kecemasan menjadi kondisi paling umum dialami korban banjir. Reaksi ini muncul sebagai respons langsung terhadap peristiwa traumatis yang dialami penyintas, terutama saat mereka berhadapan dengan situasi yang mengancam keselamatan diri dan keluarga.

Banjir juga membuka pintu pada risiko gangguan depresi. Kehilangan rumah, harta benda, mata pencaharian, bahkan anggota keluarga menjadi beban emosional yang berat. Tekanan ini, menurut Riati, dapat semakin parah bila korban minim dukungan sosial dan harus hidup dalam kondisi terdampak bencana dalam waktu lama.

BACA JUGA:Bukan Cuma Tahan Haus, Unta Punya Cara Licin Makan Kaktus Berduri Tanpa Tumbang

“Faktor kehilangan dan minimnya dukungan sosial dapat meningkatkan risiko gangguan mental yang lebih berat, bahkan berdampak pada kesehatan fisik dan mental secara keseluruhan,” jelas Riati seperti dikutip dari laman IPB University, Minggu, 21 Desember 2025.

Luka batin pascabencana tidak selalu tampak jelas. Riati menjelaskan bahwa manifestasi trauma bisa berbeda pada tiap kelompok usia. Pada anak-anak, trauma kerap muncul lewat perubahan perilaku. Ada yang menangis berlebihan, menjadi sangat takut, kembali mengompol, mendadak agresif, atau justru semakin pendiam. Gangguan tidur dan penurunan nafsu makan juga sering menyertai.

Pada orang dewasa, tanda-tandanya bisa lebih samar tapi menghantui. Mimpi buruk, kilas balik kejadian bencana, kecemasan berlebihan, mudah panik, sulit tidur, hingga keluhan fisik tanpa sebab medis yang jelas menjadi sinyal yang patut diwaspadai.

“Gangguan trauma tidak dapat ditegakkan hanya dari satu gejala. Perlu dilihat kumpulan gejala yang muncul,” terangnya.

BACA JUGA:Prabowo Terlalu Kuat, Golkar Pilih Setia daripada Coba Peruntungan Baru untuk Pilpres 2029

Di tengah keterbatasan fasilitas di lokasi pengungsian, Riati menekankan bahwa penanganan kesehatan jiwa tetap bisa dilakukan. Salah satu pendekatan awal yang dianjurkan adalah Psychological First Aid atau PFA, dengan fokus pada pemberian rasa aman, ketenangan, serta dukungan emosional bagi penyintas.

Konseling singkat, baik secara individu maupun kelompok, juga bisa menjadi ruang aman untuk melepaskan emosi negatif yang menumpuk.

“Untuk anak-anak, aktivitas bermain dan menggambar sangat dianjurkan. Sementara bagi orang dewasa, relaksasi sederhana seperti latihan pernapasan, doa, dan pendekatan spiritual dapat membantu menenangkan pikiran,” imbaunya.

Namun, Riati mengingatkan bahwa tidak semua gangguan bisa selesai dengan pendampingan awal. Bila gangguan mental sudah mengganggu fungsi sehari-hari dan menetap selama dua hingga empat minggu, penanganan medis lanjutan perlu dilakukan. Tanpa intervensi yang tepat, kondisi ini berisiko berkembang menjadi post traumatic stress disorder atau depresi berkepanjangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share