Dari Janji Kampanye ke Fee Proyek, KPK Bongkar Cara Bupati Lampung Tengah Menutup Utang Politik
Tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi Bupati Lampung Tengah periode 2025-2030 Ardito Wijaya (tangah) keluar dari mobil tahanan menuju ruang konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (11/12/2025). KPK menahan lima tersangka dalam kasu-Foto: ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/nz/pri. -
JAKARTA, PostingNews.id – Cerita ini bermula dari uang. Uang kampanye yang belum lunas, lalu dicari jalan keluarnya. Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengendus bahwa dana yang dipakai Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya untuk menutup pinjaman biaya kampanye diduga bersumber dari suap proyek. Temuan ini masih di tahap awal, tetapi angkanya sudah bikin dahi berkerut.
KPK menduga Ardito menerima suap proyek senilai Rp5,75 miliar. Dari jumlah itu, Rp5,25 miliar dipakai untuk melunasi pinjaman dana kampanye pilkada. Sisanya digunakan untuk kebutuhan operasional. Pola ini, bagi penyidik, bukan sekadar soal angka, tapi soal beban politik yang dibawa kepala daerah sejak sebelum dilantik.
“Tidak sedikit, mencapai Rp5 miliar lebih, itu pun baru temuan awal,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Senin 15 Desember 2025.
Menurut KPK, kasus ini kembali membuka wajah mahalnya ongkos politik di Indonesia. Biaya kampanye yang tinggi kerap meninggalkan utang besar bagi calon kepala daerah. Ketika kursi jabatan akhirnya diduduki, beban itu berubah menjadi dorongan untuk mencari pengembalian modal. Sayangnya, cara yang dipilih sering kali melanggar hukum.
BACA JUGA:Urusan Limbah Kini Jadi Taruhan, Kemenperin Desak Industri Beralih ke Ekonomi Sirkular
Budi menyebut praktik tersebut berujung pada tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap. Ia juga menyinggung persoalan lama yang tak kunjung selesai, yakni laporan keuangan partai politik yang dinilai belum akuntabel dan transparan. Kondisi itu membuat aliran uang tidak sah sulit dilacak sejak awal.
“KPK mendorong pentingnya standarisasi dan sistem pelaporan keuangan partai politik, agar mampu mencegah adanya aliran uang yang tidak sah,” ujar Budi.
Masalah lain yang ikut disorot adalah lemahnya integrasi antara rekrutmen dan kaderisasi partai. Situasi ini, menurut KPK, memicu munculnya mahar politik, kader yang mudah lompat partai, serta pencalonan yang lebih ditentukan oleh kekuatan uang dan popularitas ketimbang kapasitas.
Sementara itu, detail dugaan praktik korupsi Ardito diurai oleh Pelaksana Harian Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Mungki Hadipratikto. Ia menyebut Ardito diduga mematok fee sebesar 15 persen hingga 20 persen dari sejumlah proyek di Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah.
BACA JUGA:Kasus Ijazah Jokowi Masuk Gelar Perkara di Polda Metro Jaya, Tim Hukum Sibuk Ingatkan Publik Jangan Keburu Menghakimi
Postur anggaran daerah Lampung Tengah pada 2025 mencapai sekitar Rp3,19 triliun. Anggaran itu sebagian besar dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan program prioritas daerah. Namun, KPK menduga celah anggaran tersebut justru dimanfaatkan untuk mengembalikan modal politik.
Usai dilantik, Ardito disebut memerintahkan anggota DPRD Lampung Tengah Riki Hendra Saputra untuk mengatur pengadaan barang dan jasa di sejumlah satuan kerja perangkat daerah. Mekanisme yang dipilih adalah penunjukan langsung melalui E-Katalog.
“Rekanan atau penyedia barang dan jasa yang harus dimenangkan adalah perusahaan milik keluarga atau milik tim pemenangan AW, saat AW mencalonkan diri sebagai Bupati Lampung Tengah periode 2025-2030,” kata Mungki di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis 11 Desember 2025.
Dalam skema itu, KPK menduga Ardito menerima fee senilai Rp5,25 miliar dari para rekanan. Uang tersebut diduga mengalir melalui adiknya, Ranu Hari Prasetyo, bersama Riki.
BACA JUGA:Puluhan Tahun Berlalu, Kasus HAM Berat Masih Gelap, KemenHAM Akui Belum Mampu Menutup Luka Sejarah
“Atas pengkondisian tersebut, pada periode Februari-November 2025, AW diduga menerima fee senilai Rp5,25 miliar dari sejumlah rekanan atau penyedia barang dan jasa melalui RHS dan RNP selaku adik Bupati Lampung Tengah,” ujar Mungki.
Tak berhenti di situ, KPK juga menemukan dugaan pengondisian proyek pengadaan alat kesehatan di Dinas Kesehatan Lampung Tengah. Dalam proyek ini, Ardito diduga meminta Pelaksana Tugas Kepala Badan Pendapatan Daerah Lampung Tengah Anton Wibowo, yang masih memiliki hubungan kekerabatan, untuk mengatur pemenang pengadaan.
“ANW kemudian berkoordinasi dengan pihak-pihak di Dinkes Lampung Tengah untuk memenangkan PT EM. Pada akhirnya, PT EM memperoleh tiga paket pengadaan alat kesehatan di Dinkes dengan total nilai proyek Rp3,15 miliar,” ungkap Mungki.
Dari pengondisian tersebut, KPK menduga Ardito kembali menerima fee. Jumlahnya Rp500 juta yang diduga diserahkan oleh MLS selaku Direktur PT EM melalui perantara Anton Wibowo. “Atas pengkondisian tersebut, AW diduga menerima fee sebesar Rp500 juta dari Saudara MLS selaku pihak swasta yaitu Direktur PT EM melalui perantara ANW,” tambah Mungki.
BACA JUGA:Survei Litbang Kompas Ungkap 31,2 Persen Publik Minta Infrastruktur Jadi Prioritas Pemulihan Sumatera
Dengan rangkaian temuan itu, KPK menyimpulkan total uang yang diduga diterima Ardito mencapai Rp5,75 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp500 juta dipakai untuk dana operasional, sedangkan Rp5,25 miliar digunakan untuk melunasi pinjaman bank yang sebelumnya dipakai membiayai kampanye Pilkada 2024.
Dalam operasi tangkap tangan, KPK tidak hanya menetapkan sejumlah pihak sebagai tersangka, tetapi juga menyita berbagai barang bukti. Uang tunai dan logam mulia ikut diamankan untuk kepentingan pembuktian. “Uang tunai sebesar Rp193 juta, dengan rincian Rp135 juta diamankan dari kediaman pribadi AW dan Rp58 juta diamankan dari rumah RNP. Logam mulia seberat 850 gram yang diamankan dari kediaman RNP,” kata Mungki.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News