Benarkah Kelapa Sawit Perusak Hutan? Begini Fakta Lengkapnya

Benarkah Kelapa Sawit Perusak Hutan? Begini Fakta Lengkapnya

Fakta dampak minyak kelapa sawit terhadap hutan, deforestasi, habitat satwa, dan isu lingkungan yang menyertainya. Apakah sawit benar-benar perusak hutan?-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id — Minyak sawit itu ibarat tamu yang datang setiap hari tanpa kita sadari. Hadir di dapur lewat mie instan dan biskuit, mampir ke kamar mandi lewat sampo dan sabun, bahkan ikut nongol di rak makanan ringan supermarket. Praktis, murah, dan serbaguna, tapi di balik kemudahan itu ada cerita panjang yang bikin kepala garuk-garuk, yakni soal deforestasi.

Untuk tahu kenapa minyak sawit jadi isu panas, perlu lihat dulu akar sejarahnya. minyak sawit berasal dari buah kelapa sawit Afrika dan Amerika, meski yang paling banyak dipakai di dunia datang dari spesies Elaeis guineensis, tanaman asli Afrika barat dan tengah. Ribuan tahun ia hanya dipakai secara lokal, sampai era kolonial abad 1800-an membuka jalan bagi perkebunan besar-besaran di kawasan tropis.

Awal ekspansi di Asia sempat seret karena tak ada serangga penyerbuk. Produksi tersendat sampai akhirnya kumbang Elaeidobius kamerunicus diperkenalkan pada 1980-an. Hasilnya langsung melesat, ditambah tren dunia yang mulai meninggalkan lemak hewani. Sejak itu sawit melejit jadi komoditas nabati paling laku sejagad.

Indonesia dan Malaysia kini merajai pasar dengan produksi lebih dari 60 juta ton per tahun. Indonesia sendirian menanam hampir 60 persen dari total suplai global, disusul Malaysia sekitar seperempatnya. Kalimantan jadi pusat kebun raksasa itu, sementara Thailand, Kolombia, dan Nigeria ikut mengisi daftar produsen besar.

BACA JUGA:Sawit hingga Perhiasan Topang Kenaikan Ekspor RI Selama Januari-Oktober, Migas Terpuruk

Minyak sawit mentah (hasil pengepresan daging buah) paling dominan dipakai karena harganya murah, tahan lama, dan stabil. WWF menghitung bahwa minyak ini muncul hampir di separuh produk supermarket. Varian lain, minyak inti sawit, dipakai untuk sabun, kosmetik, hingga bahan industri.

Masalah mulai rumit ketika urusan produksi bersinggungan dengan hutan. Pohon sawit tumbuh paling ideal di garis khatulistiwa, dan artinya ekspansi sering dilakukan dengan membuka hutan hujan. Di sini kontroversinya muncul.

Asia Tenggara adalah kawasan dengan kehilangan hutan terbesar akibat ekspansi sawit. Di Malaysia, antara 1973–2015, sekitar 60 persen hutan hujan yang hilang berubah jadi perkebunan sawit. Di Kalimantan Indonesia, sekitar 15 persen kehilangan hutan berkaitan langsung dengan ekspansi sawit.

Profesor Jane Hill dari York University bilang banyak kebun awalnya dibangun di hutan yang sudah didahului penebangan komersial.

BACA JUGA:Prabowo Turun ke Sumatera, Desa Terisolasi Jadi Target Pertama

“Banyak dari hutan-hutan ini menghasilkan pendapatan dari penebangan kayu komersial” ujarnya. Ia mencontohkan hutan Kalimantan yang kaya pohon dipterokarpa, bahan kayu MDF. Namun, penebangan berlebihan membuat hutan tak lagi tumbuh cepat, dan sawit akhirnya mengambil alih.

“Yang tersisa hanyalah mosaik petak-petak hutan yang tersisa di tengah lautan minyak sawit, urbanisasi, dan jalan” tambah Jane.

Pengeringan gambut juga ikut memperburuk keadaan. Gambut adalah penyimpan karbon raksasa; ketika dikeringkan, karbon keluar sebagai CO₂ dan mempercepat perubahan iklim. Riset memperkirakan pengeringan gambut di Indonesia–Malaysia menyumbang sekitar 1 persen emisi gas rumah kaca dunia, padahal luas areanya tak besar.

Dampak Pada Karbon & Satwa Liar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share