Gen Z di Persimpangan Moral: Pintar, Melek Digital, tapi Tergoda Judol
Investigasi mengapa Gen Z yang melek digital tetap rentan terhadap judi online. Riset IPB buka paradoks literasi digital versus tekanan ekonomi urban.-Foto: AP Photo/Olivia Zhang-
JAKARTA, PostingNews.id — Fenomena judi online tengah menjelma menjadi paradoks sosial baru di kalangan muda Indonesia. Bukan sekadar hiburan digital, melainkan cermin kegelisahan ekonomi dan budaya instan di era konektivitas tanpa batas. Di tengah geliat modernitas dan literasi digital yang meningkat, jebakan ekonomi cepat justru makin marak diakses generasi terdidik.
Sebuah riset dari tim mahasiswa IPB University menyingkap ironi tersebut. Dalam penelitian yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), mereka menemukan bahwa pendidikan tinggi dan kemampuan digital ternyata belum cukup menjadi tameng dari godaan judi online.
“Ii bukan lagi sekadar persoalan moral, tetapi cermin dari paradoks digital yang menimpa gen Z, kelompok yang lahir dan tumbuh di era konektivitas tanpa batas,” kata Zyahwa Aprilia, perwakilan tim tersebut.
Tim melakukan wawancara mendalam terhadap sejumlah responden laki-laki berusia 22 hingga 27 tahun. Sebagian besar di antara mereka lulusan sarjana dengan penghasilan antara Rp2 juta hingga Rp5 juta per bulan—angka yang cukup menggambarkan pergulatan generasi urban di kota besar.
BACA JUGA:Membaca Kompas Etika Kaum Ateis
Harga kebutuhan hidup meningkat, ekspektasi sosial membubung, sementara pendapatan tak kunjung seimbang. Dalam tekanan itu, “Sebagian responden menyatakan bahwa judol menjadi ‘jalan pintas’ untuk memenuhi gaya hidup digital. Bukan semata karena keinginan berjudi, tetapi karena keinginan untuk bertahan di lingkungan yang serba cepat dan kompetitif,” ungkap Zyahwa seperti dilansir laman IPB University.
Fenomena ini memperlihatkan paradoks yang menarik. Di satu sisi, mereka memahami risiko digital dan memiliki pendidikan tinggi. Namun di sisi lain, tekanan ekonomi dan ekspektasi sosial membuat mereka mudah tergelincir pada platform daring yang menjanjikan kekayaan instan.
Penelitian juga menemukan pengaruh kuat budaya digital yang menormalisasi praktik berjudi. Iklan judi bermunculan di media sosial, game, bahkan grup pertemanan daring. “Bagi mereka, judi digital bukan lagi aktivitas ‘gelap’, tetapi sekadar bagian dari hiburan daring. Main game sambil dapat uang, katanya,” ujar Zyahwa.
Menurutnya, fenomena itu menandakan bahwa literasi digital yang tinggi tidak otomatis sejalan dengan literasi moral atau finansial. “Akses internet justru membuka ruang bagi perilaku berisiko yang sebelumnya sulit dijangkau,” paparnya.
BACA JUGA:Ekonom Unand Kritik Redenominasi Rupiah: Ilusi Angka yang Tak Menambah Nilai Ekonomi
Mayoritas responden dalam riset tersebut mengakui pendidikan formal belum cukup membentuk daya tahan terhadap adiksi digital. Meskipun memiliki kemampuan berpikir kritis, mereka tetap mudah tergoda oleh janji penghasilan cepat yang menyesuaikan ritme hidup media sosial—serba pamer, serba cepat, dan serba instan.
Zyahwa menyebut kesenjangan antara kemampuan digital dan pemahaman etika digital menjadi titik lemah utama generasi Z. “Mereka melek teknologi, tapi belum tentu siap menghadapi kompleksitas dunia digital yang memanipulasi psikologi dan ekonomi personal,” katanya menegaskan.
Temuan ini, menurut tim peneliti, memperlihatkan wajah nyata dari paradoks digitalisasi: teknologi yang semestinya membuka peluang justru menciptakan jebakan baru bagi mereka yang belum siap secara ekonomi maupun mental. “Temuan ini menjadi cerminan dari banyak wilayah urban di Indonesia, cerdas, terkoneksi, tetapi rapuh di tengah derasnya arus digital,” ujar Zyahwa.
Ia menambahkan, judi online hanyalah salah satu bentuk dari Specific Problematic Internet Use (SPIU), perilaku bermasalah akibat penggunaan internet berlebihan. Bentuknya bisa beragam—dari kecanduan belanja daring hingga trading impulsif—namun pola psikologinya sama, yaitu ilusi kontrol dan pencarian cepat atas rasa aman ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News