Ketika Televisi Miskin Tafsir atas Dunia Santri

Ketika Televisi Miskin Tafsir atas Dunia Santri

KPI Jatuhkan Sanksi ke Trans7 atas Tayangan Xpose Uncensored--

Forum bahtsul masail mencerminkan semangat ijtihad kolektif, di mana argumentasi didasarkan pada nash, logika, dan etika. Ini berbeda jauh dari sistem feodal yang menolak perbedaan pendapat demi stabilitas kekuasaan.

Jika dilihat secara komparatif, tradisi diskursif dalam pesantren memiliki kesamaan dengan debate culture dalam biara Buddhis Tibet, atau shastrartha dalam filsafat India kuno, di mana perdebatan intelektual dianggap sebagai bentuk ibadah intelektual. Semua tradisi ini memandang kebenaran sebagai sesuatu yang lahir dari dialog, bukan dogma kekuasaan. 

Pesantren dengan demikian menampilkan wajah Islam Nusantara yang rasional sekaligus spiritual, terbuka terhadap perbedaan dalam bingkai adab.

 

Spiritualitas versus Kekuasaan

Di lain pihak, tujuan akhir kedua sistem sangat berbeda. Sistem pesantren bertujuan mencari keberkahan, ilmu, dan ridha Allah, sedangkan sistem feodal bertujuan mempertahankan kekuasaan dan hierarki sosial. Dalam perspektif antropologi simbolik, tujuan akhir ini menentukan seluruh struktur makna sistem sosial. Pesantren mengarahkan manusia ke transendensi, sementara feodalisme memenjarakannya dalam immanensi kekuasaan.

Tujuan spiritual ini menjadikan pesantren sebagai counter-culture terhadap logika feodal. Di tengah masyarakat yang masih mengenal patronase dan hierarki sosial, pesantren menjadi ruang alternatif bagi transformasi sosial berbasis nilai moral. Para antropolog menyebut hal ini sebagai moral resistance—perlawanan terhadap sistem dominasi melalui praktik etis dan pendidikan

Jika dilihat lebih luas, pesantren bukan entitas yang terisolasi. Ia merupakan bagian dari tradisi panjang lembaga pembelajaran spiritual di dunia Timur. Dari gurukula di India, vihara di Asia Timur, hingga madrasah di dunia Islam klasik, semuanya berbagi kesamaan dalam nilai-nilai dasar: penghormatan kepada guru, kehidupan sederhana, kedisiplinan spiritual, dan pencarian pengetahuan sejati. 

Dunia Timur pada umumnya menempatkan guru sebagai figur moral yang membimbing murid dalam perjalanan eksistensial, bukan sekadar intelektual. Hubungan antara guru dan murid bukan hubungan kontraktual, melainkan relasi jiwa yang berlandaskan kasih dan keikhlasan.

 

Namun, pesantren memiliki kekhasan karena ia menggabungkan tiga lapis tradisi: sufisme Islam, budaya agraris Nusantara, dan etika komunal Asia. Dari sufisme, pesantren mewarisi konsep murshid-murid dan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Dari budaya agraris, ia menyerap semangat gotong royong dan egalitarianisme desa. 

Dari etika Asia, ia mempertahankan penghormatan kepada guru dan tata krama sosial. Sintesis inilah yang membuat pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi sistem budaya yang hidup dan terus beradaptasi dengan perubahan zaman.

Dalam pandangan antropologi budaya, perbandingan antara sistem pesantren dan sistem feodal bukan hanya tentang siapa lebih baik, tetapi tentang dua paradigma kebudayaan yang berbeda dalam memahami manusia dan kekuasaan. 

Feodalisme membangun tatanan sosial dengan memusatkan kekuasaan dan memenjarakan manusia dalam hierarki. Pesantren membangun tatanan sosial melalui pendidikan, spiritualitas, dan adab. Feodalisme menumbuhkan ketakutan, pesantren menumbuhkan kesadaran. Feodalisme melestarikan kekuasaan, pesantren menumbuhkan kebijaksanaan.

Dengan demikian, sistem pesantren dapat dibaca sebagai model peradaban moral di dunia Timur—sebuah sistem yang mengajarkan bahwa kekuasaan sejati bukanlah dominasi atas orang lain, tetapi penguasaan atas diri sendiri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News