Ketika Televisi Miskin Tafsir atas Dunia Santri

Ketika Televisi Miskin Tafsir atas Dunia Santri

KPI Jatuhkan Sanksi ke Trans7 atas Tayangan Xpose Uncensored--

Salah satu aspek paling menarik dari perbandingan ini adalah perbedaan landasan ketaatan. Dalam pesantren, ketaatan didasari oleh keikhlasan dan kesadaran spiritual, sedangkan dalam feodalisme didasari oleh rasa takut atau keterpaksaan. 

Antropologi moral menilai bahwa dalam masyarakat pesantren, ketaatan bukan sekadar mekanisme disiplin sosial, melainkan praktik etis yang mencerminkan hubungan antara manusia dan Tuhan (’ubudiyyah). Ketaatan santri kepada kiai adalah cermin dari ketaatan kepada Allah, karena kiai dipandang sebagai perantara ilmu ilahi. Dalam terminologi sufisme, hubungan ini disebut rabithah, yaitu keterikatan hati antara murid dan guru yang menuntun kepada penyucian jiwa.

Sebaliknya, ketaatan dalam feodalisme berfungsi menjaga tatanan sosial yang hierarkis dan eksploitatif. Dalam sistem seperti ini, manusia patuh bukan karena cinta atau hormat, tetapi karena takut kehilangan posisi, harta, atau keselamatan. Antropologi kekuasaan memandang feodalisme sebagai sistem yang memproduksi hegemonic obedience—ketaatan yang lahir dari internalisasi ketakutan. 

Dalam pesantren, yang muncul adalah devotional obedience—ketaatan yang lahir dari cinta dan kesadaran. Ini adalah dua bentuk relasi kekuasaan yang sama sekali berbeda dalam dasar moral dan fungsi sosialnya.

 

Gotong Royong dan Solidaritas Komunal

Bagian selanjutnya kita dapat juga menyoroti perbedaan dalam kegiatan sosial. Dalam pesantren, gotong royong dilakukan secara sukarela dan mendidik, sedangkan dalam feodalisme, kerja dilakukan untuk kepentingan penguasa. Perspektif antropologi ekonomi moral (moral economy) ala James C. Scott menjelaskan bahwa gotong royong dalam pesantren merepresentasikan sistem ekonomi berbasis solidaritas (solidarity economy), bukan eksploitasi. 

Santri bekerja bersama bukan demi keuntungan material, tetapi untuk menanamkan nilai kebersamaan dan tanggung jawab moral. Prinsip ini memiliki kesamaan dengan tradisi Buddhis di Asia Timur, di mana kerja kolektif di vihara dipandang sebagai bentuk meditasi sosial—menyapu halaman kuil atau memasak bersama menjadi praktik spiritual untuk melatih kesadaran dan kerendahan hati. 

Dalam pesantren, kerja sosial seperti membersihkan halaman, membantu masyarakat sekitar, atau memperbaiki fasilitas umum, dianggap bagian dari ibadah. Nilai yang lahir adalah kesetaraan dan kesadaran kolektif bahwa setiap individu berkontribusi untuk kebaikan bersama. Ini berbeda secara fundamental dari kerja dalam sistem feodal yang berorientasi pada keuntungan penguasa.

 

Mobilitas Sosial dan Demokratisasi Pengetahuan

Aspek mobilitas sosial dalam perbandingan ini juga sangat penting. Dalam pesantren, santri biasa dapat menjadi kiai besar, sedangkan dalam feodalisme, status sosial ditentukan oleh keturunan. Antropologi pendidikan memandang hal ini sebagai bentuk demokratisasi spiritual dan intelektual. Pesantren membuka ruang meritokrasi berbasis ilmu dan akhlak. Seorang santri yang tekun, meskipun berasal dari keluarga miskin, dapat naik derajat melalui proses belajar, pengabdian, dan kesalehan.

Fenomena ini memiliki paralel kuat dengan tradisi Konfusianisme di Tiongkok, di mana sistem ujian kenegaraan (keju) memberi kesempatan kepada siapa pun untuk menjadi pejabat berdasarkan kemampuan, bukan asal-usul keluarga. Pesantren dan sistem Konfusian ini sama-sama menolak feodalisme dalam bentuk paling dasarnya: penentuan status berdasarkan darah. 

Keduanya menegaskan nilai moral dan pengetahuan sebagai sumber legitimasi sosial. Namun, pesantren menambahkan dimensi spiritual—bahwa ilmu tidak hanya alat untuk kemajuan sosial, tetapi juga jalan menuju ridha Allah.

Perbedaan lain yang dapat ditegaskan adalah soal perbedaan pendapat. Dalam sistem pesantren, perbedaan diterima dan dibahas dalam forum ilmiah seperti bahtsul masail. Tradisi ini menunjukkan bahwa pesantren mengandung unsur deliberatif dan intelektual yang tinggi. Antropologi pengetahuan akan menyebutnya sebagai epistemic pluralism—pengakuan terhadap keberagaman cara berpikir dalam bingkai keilmuan Islam. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News