Partai Buruh Bakal Geruduk DPR, Status Nonaktif Sahroni dkk Diadukan ke Mahkamah Kehormatan

Partai Buruh Bakal Geruduk DPR, Status Nonaktif Sahroni dkk Diadukan ke Mahkamah Kehormatan

Partai Buruh dan KSPI akan laporkan lima anggota DPR ke MKD. Status nonaktif dinilai ilegal karena tak dikenal dalam UU MD3 dan UU Parpol.-Foto: IG @partaiburuh_-

JAKARTA, PostingNews.id – Langkah partai politik yang menonaktifkan lima anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini resmi dibawa ke meja etik. Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tak tinggal diam. Mereka siap menggugat keabsahan status “nonaktif” ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada Rabu, 3 September 2025.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyebut terang-terangan bahwa istilah “nonaktif” adalah produk politik tanpa landasan hukum. Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, tak ada satu pasal pun yang mengakui status tersebut bagi anggota legislatif.

“'onaktif itu kan tidak ada di undang-undang. Jadi, nanti biar MKD yang memutuskan apa sanksi yang diberikan kepada anggota DPR tersebut,” ujar Iqbal dari kawasan Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 1 September 2025.

Iqbal merujuk pada dua payung hukum utama: UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Kedua regulasi tersebut tidak menyebut, apalagi mengakui istilah “nonaktif” dalam konteks anggota DPR.

Padahal, lima anggota DPR dari tiga partai besar telah lebih dulu “dicopot secara simbolik” oleh partainya:

  1. Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach (Partai NasDem)
  2. Eko Patrio dan Uya Kuya (PAN)
  3. Adies Kadir (Golkar)

Namun, hingga kini, tak ada satu pun dari mereka yang diganti secara hukum melalui mekanisme Pergantian Antarwaktu) atau PAW. Artinya, mereka masih menjabat, masih bergaji, dan secara resmi masih anggota DPR.

Menariknya, ketika Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia ditanya wartawan soal keabsahan status nonaktif tersebut di Istana, keduanya memilih bungkam. Tak sepatah kata pun keluar.

Strategi Politik, Bukan Langkah Hukum

Kritik keras juga datang dari kalangan akademisi. Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai status nonaktif itu bukan solusi hukum, melainkan akal-akalan partai untuk menghindari amarah publik.

Menurutnya, jika partai benar-benar ingin menunjukkan sikap tegas dan konstitusional, maka mereka harus langsung memecat kadernya dari keanggotaan partai. Dengan begitu, otomatis mekanisme PAW akan berjalan.

“Otomatis diganti, dong, sebagai anggota DPR. Tidak bisa hanya dibilang nonaktif. Itu sama saja seperti disuruh tidak masuk kerja, tetapi masih berstatus anggota DPR,” tegas Herdiansyah.

Ia menyebut, penonaktifan seperti ini hanya trik politik untuk terlihat bertanggung jawab, padahal secara hukum tidak mengubah apa pun. Justru, publik disuguhi ilusi seolah-olah telah ada sanksi padahal tidak ada dasar undang-undangnya.

“Partai ingin menunjukkan tanggung jawab, tetapi sebenarnya tidak ada dasar hukumnya. Publik dianggap tidak paham aturan, padahal jelas istilah itu tidak dikenal dalam UU MD3 ataupun Tatib DPR,” katanya.

Saran konkret datang dari pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, Allan FG Wardhana. Ia menyatakan setelah partai menyatakan kadernya nonaktif, harusnya langkah itu langsung ditindaklanjuti ke proses PAW.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News