Abolisi Tom Lembong, Rekonsiliasi Politik di Balik Langkah Prabowo

Abolisi Tom Lembong dan amnesti Hasto Kristiyanto jadi penanda rekonsiliasi elite. Langkah Prabowo disorot sebagai barter kekuasaan dan hukum.--Gambar dibuat oleh AI untuk Postingnews.id.
Implikasi terhadap Dinamika Elite Politik Nasional
Pemberian abolisi Tom Lembong dan amnesti Hasto Kristiyanto langsung mengubah lanskap politik pasca-pemilu. Dinamika elite nasional memasuki fase rekonsiliasi dan konsolidasi kekuasaan yang jarang terjadi dalam waktu secepat ini usai kontestasi. Dengan bergabung atau setidaknya bekerjanya PDIP mendukung pemerintahan Prabowo, praktis hampir tidak ada oposisi berarti di parlemen.
Partai terbesar yang semula diperkirakan menjadi tulang punggung oposisi kini justru mengisyaratkan akan menjaga kerukunan dengan pemerintah. Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, memuji langkah Prabowo tersebut sebagai upaya menjaga kerukunan nasional dan stabilitas politik pasca-pemilu.
Hal senada diungkapkan politisi koalisi lainnya. Partai Demokrat melalui Sekjen Herman Khaeron menilai abolisi Tom Lembong dan amnesti Hasto menunjukkan Prabowo mengedepankan kepentingan yang lebih besar di atas perbedaan politik sempit. Dari kacamata para pendukung pemerintah, Prabowo tampil bak negarawan yang merangkul rival demi persatuan bangsa.
Dampak positif jangka pendeknya, suhu politik yang sebelumnya tegang berangsur mereda. Para elite politik nasional kian akur dan komunikasi lintas kubu mencair. Bahkan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang notabene merupakan tokoh PDIP turut angkat suara menghormati keputusan Prabowo. Ia menyatakan bahwa pemberian abolisi/amnesti adalah hak prerogatif Presiden ke-8 RI tersebut.
BACA JUGA:Redakan Rasa Sakit! Inilah 3 Cara Alami Mengobati Sariawan
Jokowi memastikan hubungannya dengan Prabowo tetap baik-baik saja pascakebijakan tersebut. Sinyal dukungan Jokowi ini menguatkan posisi Prabowo sebagai figur pemersatu alih-alih pemecah belah. Bagi publik pendukung rekonsiliasi, kolaborasi Prabowo-Megawati-Jokowi ibarat kembali menyatunya dua poros besar yang sempat berlawanan, sehingga pemerintah dapat lebih leluasa menjalankan program tanpa gangguan oposisi kuat.
Pemerintahan Prabowo mendapat tambahan dukungan dari PDIP di parlemen dan memperbesar koalisi super-majority. Konsekuensinya, agenda legislatif pemerintah kemungkinan akan mulus melenggang dengan minim penolakan berarti. Hal ini bisa berdampak positif pada stabilitas politik dan percepatan kebijakan karena dukungan politik nyaris menyeluruh dari partai-partai besar.
Namun di balik euforia “koalisi tanpa oposisi” ini, sejumlah pihak mengingatkan implikasi negatif terhadap tata kelola negara. Para pengamat demokrasi mengkhawatirkan melemahnya fungsi checks and balances bila elite politik cenderung berkompromi demi kepentingan bersama.
Rekonsiliasi model bagi-bagi kekuasaan rawan menyisihkan peran kontrol oposisi terhadap pemerintah. Direktur Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Airlangga, Ali Syafaat, menyebut fenomena abolisi-amnesti ini sarat muatan politik kekuasaan yang bisa mengesampingkan keadilan hukum.
BACA JUGA:5 Rekomendasi Film yang Pemeran Utamanya Glow Up Parah, Nomor 1 Dibintangi Anne Hathaway
Mengenai hal ini, ada kekhawatiran bahwa penegakan hukum bisa dinegosiasikan di meja politik oleh para elite. Jika hal tersebut benar terjadi, tentu integritas sistem hukum dan upaya pemberantasan korupsi akan terdampak. Ke depannya, keputusan Prabowo ini bisa menjadi yurisprudensi politis, yakni para pejabat yang terjerat kasus korupsi berpotensi berharap pengampunan serupa asalkan memiliki daya tawar politik atau kedekatan dengan lingkar kekuasaan.
Efek jera hukum terhadap korupsi dikhawatirkan berkurang ketika terlihat ada jalan pintas keluar berupa abolisi/amnesti. Maka, tantangan bagi pemerintahan Prabowo selanjutnya adalah membuktikan bahwa rekonsiliasi politik ini tidak berarti memberi karpet merah bagi praktik impunitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: berbagai sumber