GIIAS 2025: Panggung bagi Aletra, Polytron dan Kebangkitan Mobil Listrik Lokal

Dua unit mobil listrik Aletra L8 EV dalam varian warna hitam dan putih. SUV buatan anak bangsa ini menjadi sorotan di GIIAS 2025 berkat desain futuristik dan performa yang diklaim setara merek global. -Foto: aletra.id.-
Keunggulan utama Selis justru terletak pada konektivitas. Sejak 2019 pabrikan ini menggandeng Aeris Communications untuk menanamkan modul IoT—mulai pelacakan lokasi, diagnostik baterai jarak jauh, hingga anti-pencurian—di seluruh rangkaian e-motor dan e-bike-nya.
Data kendaraan tersimpan di platform cloud Aeris, memungkinkan pengguna memantau kesehatan baterai, pola penggunaan, dan posisi real-time melalui aplikasi seluler. Langkah ini menjadikan Selis pionir “sepeda motor listrik terhubung” di pasar domestik, jauh sebelum kompetitor roda dua lain memasarkan sistem serupa.
Selis juga mulai menyiapkan jaringan penukaran baterai skala kecil bekerja sama dengan koperasi setempat serta startup ritel energi; pilot project di Bekasi dan Depok menempatkan loker swap berkapasitas dua belas modul, sehingga pengendara tak perlu menunggu pengisian penuh. Skema tersebut diproyeksikan diperluas ke koridor Jabodetabek seiring rencana pemerintah melanjutkan subsidi motor listrik Rp 7 juta per unit pada Agustus 2025, alokasi insentif yang diprediksi cukup untuk 35 700 kendaraan baru.
Secara fitur, E-Max terbaru sudah dilengkapi rem cakram ganda, anti-theft alarm, dan, pada varian tertinggi, kontrol traksi dasar yang mengurangi selip di permukaan licin—fitur yang belum lazim di segmen harga belasan juta rupiah. Seluruh rangka dilas dan dicat di fasilitas tiga hektare Cikupa, sementara baterai lithium masih diimpor dari pemasok Tiongkok sebelum proses perakitan modul di dalam negeri.
Dengan harga agresif, jaringan servis lebih dari seratus titik, serta janji konektivitas penuh, Selis berusaha merebut ceruk komuter perkotaan yang menginginkan kendaraan praktis, bebas larangan ganjil-genap, dan hemat insentif parkir.
BACA JUGA:Sering Pake Kipas Angin Bisa Datangkan Penyakit Serius? Cek Faktanya di Sini!
Pendorong Keberanian Lokal
Skema fiskal pemerintah—PPnBM nol persen untuk EV ber-TKDN minimal 40 persen—menjadi insentif kunci. Aletra sudah memenuhi ambang batas itu. Polytron menargetkan 45 persen pada 2025 dan 60 persen setelah lini perakitan baterai di Kudus beroperasi. Di sisi biaya, harga paket sel LFP impor dari CATL atau BYD masih mencakup setengah komponen kendaraan. Pabrik sel di Morowali dan Batang dijadwalkan mass-production mulai 2026. Jika rampung tepat waktu, ketergantungan impor dapat berkurang signifikan.
Rintangan terbesar bukan di ruang pamer, melainkan di bengkel. Aletra baru memiliki 38 diler penjualan dan servis, sementara Polytron 55 dengan target 120 gerai pada 2027. Tanpa jaringan purna jual padat dan ketersediaan suku cadang cepat, harga kompetitif mudah terseret kecemasan konsumen soal perawatan dan nilai jual kembali.
Selain pasar domestik, kedua merek membidik ekspor right-hand drive ke Asia Tenggara. Aletra menggandeng distributor Malaysia untuk penjualan fleet mulai 2026, sementara Polytron mengantre homologasi ASEAN NCAP sebelum memasuki Filipina. Tarif impor kendaraan listrik di kawasan ini relatif rendah, tetapi standar keselamatan dan ketersediaan suku cadang tetap menjadi prasyarat.
Di GIIAS 2025 akan menjadi panggung publik, sanggupkah “mobil merah-putih” bertahan? Jika jaringan servis diperluas, pasokan baterai lokal hadir, dan harga tetap terjaga, Aletra dan Polytron berpotensi menandai titik balik industri otomotif Indonesia—dari pasar terbesar ASEAN menjadi basis produksi regional. Kegagalan memenuhi janji purna jual, sebaliknya, akan mengembalikan label lokal ke kotak skeptisisme lama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News