Anomali Berbahaya! Apa Bedanya Kartun Anak dan Konten Anomali AI?

Anomali Berbahaya! Apa Bedanya Kartun Anak dan Konten Anomali AI?

Bahaya konten anomali pada anak-Popmama-Popmama

POSTINGNEWS.ID - Konten anomali berbasis AI itu berbahaya untuk anak, loh! Nur Hafidzah, associate psychologist Yayasan Halo Jiwa Indonesia menuturkan bahwa anak-anak di rentang usia 2-7 tahun masih dalam tahap perkembangan pre-operational.

Artinya, anak-anak belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan. Sebagaimana yang ditampilkan dalam konten anomali.

Menurutnya, kondisi psikologis ini membuat anak rentan terjerumus dalam konten-konten anomali dengan durasi pendek yang mudah melekat pada benak anak. Jika sudah ketagihan, anak bisa menjadi lebih cepat marah, sulit fokus dan kehilangan empati.

BACA JUGA:Fenomena Konten Brain Rot Anak Ancaman Bagi Anak Gen Alpha dari Konten Anomali AI

Lalu, apa perbedaan antara kartun biasa dengan konten anomali AI yang dianggap memicu brain rot?

Ella Devianti Effendi, Direktur Digital Campaign for Social Change DiRI, menjelaskan bahwa terdapat tiga elemen utama yang membuat sebuah konten masuk dalam kategori brain rot:

“Pertama, kontennya absurd atau menyalahi logika umum. Kedua, menggunakan musik yang monoton dan repetitif. Ketiga, berdurasi pendek tanpa narasi atau penjelasan logis. Hanya semacam potongan gerakan tanpa makna,” jelas Ella.

Hal lain yang membuat khawatir dengan paparan konten anomali AI ini adalah, terutama karena anak-anak sering mengetahuinya dari lingkungan bermain di luar rumah.

Upi Fitriyanti, Fasilitator Relawan Keluarga Kita  atau Rangkul Lampung, menyatakan bahwa teknologi selalu punya dua sisi. Karena itu penting bagi orang tua mengarahkan anak memanfaatkan teknologi ke arah yang positif.

Upi juga mengingatkan pentingnya membentuk komunikasi dua arah antara orang tua dan anak. Menurutnya, salah satu kunci agar anak tidak merasa tertekan justru dengan membangun kesepakatan dan pemahaman bersama.

“Celah anak untuk diajak bicara itu ada saat emosinya tersentuh. Jadi, penting bagi orang tua untuk memahami kondisi mental anak di setiap tahap usianya,” ucapnya.

BACA JUGA:5 Rekomendasi Film yang Bakal Bikin Kamu Auto Mewek, Siapin Tisu Gaes!

Ia menambahkan bahwa salah satu kegagalan komunikasi orang tua pada anak adalah mereka memarahi anak tanpa tujuan yang pasti. Sisi emosional orang tua yang berlebihan ini kadang mengaburkan poin dan harapan yang hendak disampaikan pada anak.

Karena itu, ia berharap orang tua bisa lebih dulu membangun sisi afektif dalam komunikasi agar bisa membentuk support system terbaik dalam tumbuh kembang anak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News