Fenomena Konten Brain Rot Anak Ancaman Bagi Anak Gen Alpha dari Konten Anomali AI

Fenomena Konten Brain Rot Anak Ancaman Bagi Anak Gen Alpha dari Konten Anomali AI

Konten digital berisi visual absurd, musik repetitif, dan durasi pendek kini menjamur di platform populer dan menarik perhatian anak-anak Gen Alpha.-ISTIMEWA-ISTIMEWA

POSTINGNEWS.ID - Konten digital berisi visual absurd, musik repetitif, dan durasi pendek kini menjamur di platform populer dan menarik perhatian anak-anak Gen Alpha.

Fenomena ini dikenal sebagai konten brain rot. Konten singkat yang tampak lucu, namun dapat mengganggu kemampuan berpikir reflektif dan memicu kecanduan digital.

Bagi orang tua, tantangan ini menuntut pendekatan baru dalam mendampingi tumbuh kembang anak di tengah era algoritma dan konten anomali berbasis AI.

BACA JUGA:Wellness Tourism Jadi Unggulan Wisata Indonesia di Osaka World Expo 2025

Menanggapi fenomena tersebut, Yayasan Digital Resilience Indonesia (DiRI) bekerja sama dengan Yayasan Halo Jiwa Indonesia dan Relawan Keluarga Kita (Rangkul) Lampung menggelar seminar daring e-Talks bertajuk “Tren Ballerina Cappuccinna & Gen Alpha: Tips dan Trik Hindari Kecanduan Konten Anomali AI”.

Memfasilitasi Rasa Bosan Anak

Nur Hafidzah, associate psychologist Yayasan Halo Jiwa Indonesia menuturkan bahwa anak-anak di rentang usia 2-7 tahun masih dalam tahap perkembangan pre-operational. Artinya, anak-anak belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan.

Menurutnya, kondisi psikologis ini membuat anak rentan terjerumus dalam konten-konten anomali dengan durasi pendek yang mudah melekat pada benak anak. Jika sudah ketagihan, anak bisa menjadi lebih cepat marah, sulit fokus dan kehilangan empati.

“Orang tua perlu sadar tentang berkembangnya konten semacam itu, karena bisa menjadi konten brain rot yang meskipun terlihat lucu, tapi punya potensi merusak struktur berpikir anak,” imbuhnya.

Ia menambahkan bahwa melatih anak mengenali rasa bosan adalah salah satu strategi menghindarkan anak dari potensi kecanduan konten brain rot, sekaligus jadi hal terpenting di masa tumbuh kembang anak.

“Terlalu cepat mengalihkan anak dari rasa bosan akan membuat mereka kehilangan peluang mengenali potensi diri. Izinkan anak menggunakan rasa bosan itu untuk menggali kreativitas atau ide mereka untuk mengembangkan potensi dirinya. Karena terkadang anak itu tidak sadar bahwa ia berpotensi mewarnai karena diintervensi untuk melakukan itu bukan karena keinginannya sendiri,” pungkasnya.

Dalam diskusi online ini, para narasumber sepakat bahwa kehadiran konten brain rot sangat berpengaruh bagi Gen Alpha. Utamanya karena sifat konten brain rot yang sangat menarik dari sisi audiovisual, sesuai perkembangan psikologi generasi kelahiran tahun 2010 hingga 2025.

Ella Devianti dari DiRI menambahkan bahwa ketertarikan hingga ketergantungan gen Alpha terhadap konten anomali tersebut tidak lepas dari mekanisme algoritma di dunia maya.

Karena itu, ia mengapresiasi hadirnya pemerintah lewat PP TUNAS, Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak, yang digagas Kementerian Komunikasi dan Digital.

Temukan konten postingnews.id menarik lainnya di Google News

Tag
Share
Berita Lainnya
Berita Terpopuler