JAKARTA, POSTINGNEWS.ID - Larangan penggunaan abaya di sekolah di Prancis dinilai telah mengalihkan fokus masalah-masalah lain yang lebih mendesak di negara tersebut.
Kebijakan larangan abaya ini mulai diberlakukan pada hari Senin, 4 September 2023 saat tahun ajaran baru dimulai.
Dari total 12 juta siswa di seluruh Prancis, sebanyak 298 siswa memilih untuk tetap mengenakan abaya meskipun sudah ada larangan yang mengatur sebaliknya.
Selain itu, 67 siswi lainnya menolak untuk melepas abaya mereka sebagai bentuk protes terhadap kebijakan ini.
Walaupun perdebatan seputar larangan abaya bukanlah hal baru di Prancis, isu ini telah menjadi pusat perhatian di Prancis dalam beberapa waktu terakhir.
Sophie Venetitay, Sekretaris Jenderal serikat pekerja Snes-FSU, mengemukakan kepada penyiar France Inter bahwa perdebatan mengenai larangan abaya telah mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih krusial seperti kekurangan guru dan ruang kelas.
Presiden Emmanuel Macron dan menteri pendidikan Prancis sendiri telah berjanji bahwa setiap kelas akan memiliki seorang guru, namun pada kenyataannya masih ada sekolah yang kekurangan tenaga pengajar dan ruang kelas yang memadai.
Kondisi ini mendorong staf di sekolah-sekolah yang paling terdampak untuk mengancam akan melakukan pemogokan dalam beberapa hari mendatang sebagai bentuk protes.
Serikat guru juga tengah melakukan upaya advokasi untuk menuntut pemerintah menaikkan gaji guru.
Menurut laporan yang diterbitkan pada tahun 2022, gaji rata-rata guru bahasa Prancis dengan pengalaman 15 tahun adalah 19 persen lebih rendah dibandingkan dengan gaji rata-rata di negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Sejumlah guru dan staf di Sekolah Menengah Maurice-Utrillo di Stains telah mengorganisir pemogokan dan demonstrasi sebagai bentuk protes terhadap larangan abaya.
Tidak hanya guru, tetapi siswa dan orang tua juga ikut berpartisipasi dalam unjuk rasa di depan sekolah tersebut.
Dalam aksi protes itu, staf mengkritisi sistem pendidikan di Prancis dan menyebutnya sebagai salah satu yang paling tidak setara di antara negara-negara anggota OECD.
Alih-alih mengatasi kesenjangan dalam sistem pendidikan, pemerintah dinilai malah lebih fokus pada isu soal penggunaan abaya dan jubah atau gamis.
Myriam, seorang anggota dari Komunitas Abayama Do Not Touch, menganggap larangan abaya merupakan bentuk penindasan terhadap gadis-gadis muslim dan melanggar hak kebebasan, diskriminatif, dan Islamofobik.
Saat ini, gadis-gadis muslim di Prancis seolah diperlakukan sebagai warga kelas dua.
Sekolah Menengah Atas (SMA) Maurice Utrillo di Stains, Seine-Saint-Denis, yang terletak di timur laut Paris, menjadi salah satu sekolah yang menggulirkan pemogokan sebagai bentuk protes terhadap kebijakan larangan abaya di sekolah negeri.
Pemogokan dimulai pada hari Rabu (6/9) lalu.
Mereka menyuarakan penolakan terhadap kebijakan Islamofobia yang diterapkan oleh pemerintah.
Menurut mereka, siswa harus disambut dengan baik di SMA Maurice Utrillo dan pakaian mereka tidak perlu diperdulikan.
Mereka menegaskan bahwa tidak boleh ada stigmatisasi terhadap siswa yang memilih mengenakan abaya atau qamis.
Daerah Seine-Saint-Denis, yang merupakan pinggiran kota yang miskin atau banlieue di timur laut Paris, dihuni oleh banyak penduduk keturunan Afrika dan Timur Tengah.
Pemerintah Prancis melarang siswa mengenakan abaya di sekolah karena dianggap melanggar prinsip sekularisme dalam pendidikan Prancis.
Abaya adalah gaun longgar panjang yang biasanya digunakan oleh muslimah.
BACA JUGA:
Seorang siswa yang ikut dalam pemogokan di depan sekolah Utrillo memprotes kebijakan tersebut.
"Selama berbulan-bulan, kami tidak punya guru karena tidak ada yang menggantikannya, tapi kok pemerintah punya waktu untuk melarang abaya?"
Orang tua siswa yang bergabung dalam protes itu juga menyuarakan pendapatnya.
"Kami tidak menunggu kementerian memberi tahu kami cara berpakaian!" kata salah satu orang tua murid.
Prancis telah lama menghadapi kontroversi terkait simbol-simbol agama di sekolah-sekolahnya.
Negara ini merupakan rumah bagi komunitas muslim terbesar di Eropa.
Pada hari pertama sekolah, Senin, 4 September lalu, puluhan siswi dipulangkan karena menolak melepas abaya mereka.
Undang-undang di Prancis telah melarang simbol-simbol agama di sekolah-sekolah negeri sejak abad ke-19, sebagai bagian dari upaya untuk menghilangkan pengaruh Katolik tradisional dalam pendidikan publik.
Hal ini berarti bahwa sekolah negeri Prancis tidak mengizinkan pemakaian salib yang besar.
Selain itu, siswa juga dilarang mengenakan kippa Yahudi, dan pada tahun 2004, Prancis melarang penggunaan jilbab di sekolah.
Pada tahun 2010, Prancis juga mengeluarkan larangan terhadap pemakaian cadar di tempat umum.
Kebijakan-kebijakan ini telah memicu kemarahan dalam komunitas muslim Prancis yang berjumlah sekitar lima juta orang.