POSTINGNEWS.ID - Beberapa waktu lalu, layar kaca kita kembali riuh oleh sebuah tayanga dari salah satu stasiun televisi nasional—sebut saja Trans7—yang dengan enteng menampilkan sosok “kyai” dan “pesantren” dalam bingkai yang dangkal dan stereotip murahan. Sang “kyai” digambarkan sebagai figur kolot, bahkan manipulatif; pesantren dihadirkan seolah ruang gelap penuh kekuasaan spiritual yang menakutkan.
Tak ada yang salah dengan liputan itu, tentu saja—selama ia disertai pengetahuan. Tapi seperti biasa, di negeri yang terlalu sering bingung membedakan antara kritik sosial dan candaan receh, yang muncul justru bukan kritik, melainkan pengulangan prasangka lama: bahwa pesantren adalah institusi feodal berbaju agama, dan kiai hanyalah versi halus dari bangsawan lama yang menuntut ketaatan buta dari pengikutnya.
BACA JUGA:Disinggung Soal Utang Whoosh, Senyum Jokowi Mendadak Hilang
Ironinya, tayangan itu justru mengungkap ketidaktahuan mendasar tentang apa itu pesantren. Ketika kamera menyorot "kyai" sebagai penguasa kecil yang menakutkan, antropologi tersenyum getir. Sebab di balik panggung itu, ada realitas sosial yang jauh lebih kompleks dan lebih mulia: pesantren bukan ruang tirani, melainkan sistem nilai yang telah berabad-abad membentuk karakter moral masyarakat Indonesia.
Pesantren adalah laboratorium sosial yang melatih disiplin, solidaritas, dan spiritualitas; tempat di mana penghormatan lahir dari cinta, bukan dari ketakutan. Maka ketika industri hiburan memotongnya menjadi parodi, kita tidak hanya sedang menonton kebodohan yang dibungkus dengan tayangan investigasi—kita sedang menyaksikan bagaimana budaya populer sering gagal memahami kebijaksanaan tradisi.
Itulah mengapa perlu dijelaskan kembali, dengan pendekatan antropologi budaya, bahwa sistem pesantren dan sistem feodal berdiri di dua kutub yang berlawanan secara moral dan epistemologis. Pesantren mengajarkan ilmu dan adab, feodalisme menanamkan kekuasaan dan ketundukan.
BACA JUGA:Survei IndoStrategi: 1 Tahun Prabowo–Gibran Dapat Skor 3, Pemerintahannya Masih “B aja”
Satu membentuk manusia yang merdeka secara spiritual, satu lagi membentuk manusia yang patuh secara struktural.
Untuk memahami perbedaan itu, mari kita lepaskan sejenak kacamata sinetron dan iklan sabun, lalu melihat pesantren sebagaimana adanya—melalui lensa budaya, tradisi, dan spiritualitas Timur yang dalam.
BACA JUGA:Ratusan Siswa Keracunan, Dua Dapur MBG di Bandung Barat Disetop BGN
Pesantren dan Feodalisme: Sistem Nilai, Kekuasaan, dan Spiritualitas
Dalam antropologi budaya, lembaga pendidikan tidak hanya dilihat sebagai tempat mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai arena pembentukan makna, nilai, dan struktur sosial. Dalam konteks Indonesia, sistem pesantren memegang posisi unik karena memadukan fungsi pendidikan, pembinaan moral, dan reproduksi tradisi Islam Nusantara.
Feodalisme dan pesantren adalah dua sistem sosial yang pada permukaannya sama-sama memiliki hierarki, tetapi secara substansial berakar pada nilai dan tujuan yang sangat berbeda. Sistem pesantren berlandaskan nilai agama, adab, dan spiritualitas, sedangkan feodalisme bertumpu pada kekuasaan dan status sosial. Jika dibaca dengan kacamata antropologi budaya, keduanya mewakili refleksi atas dua cara pandang tentang manusia, kekuasaan, dan hubungan sosial di dunia Timur.
Pesantren, dalam sejarah antropologi Islam Nusantara, bukan hanya lembaga pendidikan keagamaan, tetapi juga representasi dari sistem nilai komunal yang berakar dalam budaya agraris dan sufistik. Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) mengamati bahwa pesantren memainkan peran sentral dalam menjaga moralitas kolektif masyarakat Jawa dan menjadi penghubung antara dunia spiritual dan dunia sosial.
Dalam istilah antropologi, pesantren dapat disebut sebagai moral community—sebuah komunitas yang dibangun atas dasar nilai spiritual bersama yang menuntun perilaku sosial para anggotanya. Hubungan antara kiai dan santri dalam pesantren bukan hubungan hierarkis dalam arti kekuasaan, melainkan hubungan karismatik-pedagogis yang berakar pada penghormatan terhadap ilmu dan akhlak.