Perbedaan ini menegaskan bahwa dasar hubungan dalam sistem pesantren adalah nilai agama dan adab, bukan kekuasaan dan status sosial. Dalam budaya pesantren, penghormatan kepada kiai muncul dari keikhlasan dan keyakinan bahwa ilmu adalah pancaran berkah ilahi.
BACA JUGA:Hadiri Kompolnas Award, Kapolri: Polri Tak Antikritik
Hal ini berbeda secara fundamental dengan sistem feodal, di mana kedudukan sosial didasarkan pada warisan dan kepemilikan. Antropolog akan menyebut pesantren sebagai sistem berbasis ascribed charisma—karisma yang diakui karena kualitas spiritual dan moral seseorang, bukan karena keturunan atau kekayaan.
Feodalisme dan Struktur Kekuasaan Tradisional
Sementara itu, feodalisme sebagai sistem sosial-politik berakar pada struktur hierarkis yang menekankan kepatuhan vertikal dan stabilitas status sosial. Dalam sistem ini, otoritas ditentukan oleh warisan, dan hubungan sosial diatur melalui rasa takut atau keterpaksaan.
Dari kacamata antropologi politik, feodalisme berfungsi mempertahankan tatanan sosial yang statis dan menjustifikasi ketimpangan melalui simbol-simbol budaya seperti gelar, pakaian, dan ritual penghormatan kepada penguasa.
Feodalisme Jepang (zaman Tokugawa), misalnya, menampilkan pola serupa dengan sistem feodal Eropa, di mana kesetiaan dan ketertiban dipertahankan melalui ketakutan dan loyalitas kepada tuan tanah atau daimyo. Perbandingan dengan pesantren memperlihatkan perbedaan epistemologis: feodalisme berpusat pada penguasaan manusia atas manusia, sedangkan pesantren berpusat pada pembimbingan manusia menuju Tuhan.
Dalam feodalisme, kepatuhan adalah alat kontrol; dalam pesantren, ketaatan adalah bentuk kesadaran spiritual. Ini adalah pergeseran paradigma yang mendasar dalam antropologi nilai—dari struktur dominasi menuju struktur pembinaan moral.
Kiai dalam sistem pesantren dan tuan dalam sistem feodal sama-sama menempati posisi tertinggi dalam hierarki sosial. Namun, sumber otoritas mereka sangat berbeda. Dalam antropologi agama, kiai memperoleh legitimasi melalui ilmu (’ilm), barakah, dan keteladanan moral, sedangkan tuan feodal memperoleh legitimasi melalui kekuasaan ekonomi dan keturunan.
Hal ini sejalan dengan tipologi otoritas Weberian—otoritas karismatik dalam pesantren versus otoritas tradisional dalam feodalisme. Kiai dihormati karena ia dianggap sebagai penjaga ilmu dan moralitas, bukan karena kekuasaan material. Dalam praktiknya, banyak kiai hidup sederhana dan menolak kultus individu yang berlebihan. Otoritasnya tumbuh dari pengakuan masyarakat terhadap ilmu dan kesalehannya.
Ini mengingatkan pada tradisi gurukula di India kuno, di mana murid-murid tinggal bersama guru dalam kehidupan yang asketis dan penuh pengabdian, bukan karena paksaan, tetapi karena dorongan spiritual untuk memperoleh jnana (pengetahuan sejati). Pola serupa juga ditemukan dalam tradisi monastik Buddhis, di mana biksu senior dihormati karena kebijaksanaan dan kedalaman meditasi, bukan karena kekuasaan sosial.
Ketaatan sebagai Kesadaran Spiritual
Salah satu aspek paling menarik dari perbandingan ini adalah perbedaan landasan ketaatan. Dalam pesantren, ketaatan didasari oleh keikhlasan dan kesadaran spiritual, sedangkan dalam feodalisme didasari oleh rasa takut atau keterpaksaan.
Antropologi moral menilai bahwa dalam masyarakat pesantren, ketaatan bukan sekadar mekanisme disiplin sosial, melainkan praktik etis yang mencerminkan hubungan antara manusia dan Tuhan (’ubudiyyah). Ketaatan santri kepada kiai adalah cermin dari ketaatan kepada Allah, karena kiai dipandang sebagai perantara ilmu ilahi. Dalam terminologi sufisme, hubungan ini disebut rabithah, yaitu keterikatan hati antara murid dan guru yang menuntun kepada penyucian jiwa.