Banggar Sebut Gaji Sahroni Dkk Jalan Terus Meski Dinonaktifkan, DPR Hanya Dapat ‘Sanksi Kosmetik’

Senin 01-09-2025,16:43 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

“Kami melihatnya apa yang disampaikan oleh Pak Deddy Sitorus atau kemudian Ibu Sadarestuwati, secara etik kita semua menjadi pelajaran bagi kami untuk mempergunakan diksi atau frasa yang menimbulkan empati dan simpati kepada rakyat,” katanya.

Joget hingga Diksi Rakyat Jelata, Akar Kritik yang Meledakkan Murka Publik

Gelombang kritik terhadap para legislator yang dinonaktifkan partainya bukanlah datang tiba-tiba. Aksi-aksi dan pernyataan mereka yang terekam publik telah lebih dulu menimbulkan luka dan kemarahan di tengah masyarakat yang tengah bergelora.

Sadarestuwati, misalnya, mencuri perhatian dan kecaman saat berjoget lagu Gemu Fa Mi Re bersama sejumlah anggota DPR lain dalam Sidang Tahunan MPR, 15 Agustus 2025. Aksi itu dianggap publik sebagai bentuk euforia yang tidak pada tempatnya di tengah krisis kepercayaan rakyat terhadap parlemen.

Sementara Deddy Sitorus, anggota Komisi II dari Fraksi PDIP, diserang kritik tajam setelah videonya viral dari program Kontroversi Metro TV, 10 Oktober 2024. Dalam tayangan itu, Deddy melontarkan argumen yang dianggap ofensif ketika menyebut adanya “sesat logika” saat gaji DPR dibandingkan dengan buruh atau pengemudi becak.

Tak hanya itu, ia juga menggunakan istilah “rakyat jelata” untuk menggambarkan warga berpenghasilan rendah, sebuah diksi yang dinilai merendahkan dan jauh dari sensitivitas sosial.

Sementara itu, dari kubu Golkar, nasib Adies Kadir yang juga dinonaktifkan partai tak kalah membingungkan. Posisi Adies sebagai Wakil Ketua DPR belum jelas apakah akan digantikan atau tetap dipertahankan. Ketika ditanya soal kelanjutan posisi Adies, Ketua DPP Golkar Dave Laksono memilih irit bicara.

“Saya enggak tahu, itu bisa ditanya pimpinan partai,” tegasnya.

Di tengah kebingungan soal status anggota yang “dinonaktifkan”, para ahli hukum tata negara mengingatkan istilah itu bisa menyesatkan dan menciptakan ilusi sanksi yang tak nyata. Salah satunya disampaikan oleh pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini.

Ia menjelaskan istilah “nonaktif” memang eksis dalam UU MD3, tetapi penggunaannya sangat spesifik, yakni hanya berlaku untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang diproses atas suatu aduan.

“Konteks nonaktif dalam UU MD3 itu hanya berlaku pada posisi pimpinan atau anggota MKD, bukan pada anggota DPR secara umum,” kata Titi.

Hal ini sejalan dengan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR yang memperjelas status keanggotaan DPR hanya bisa diubah melalui mekanisme formal: PAW (Pergantian Antarwaktu). Dalam hal ini, partai tidak bisa sekadar mengumumkan “nonaktif” tanpa prosedur hukum yang sah.

“Penggantian antarwaktu bisa dilakukan setelah ada pemberhentian antarwaktu yang disampaikan pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR,” ujarnya.

Titi juga menyinggung UU MD3 memungkinkan adanya pemberhentian sementara, tapi hanya dalam kasus anggota DPR berstatus terdakwa perkara pidana berat. Bila vonis jatuh dan bersalah, barulah pemberhentian permanen dilakukan.

Sebaliknya, jika bebas, maka statusnya dipulihkan. Selama dalam masa pemberhentian sementara ini, anggota tetap memperoleh sebagian hak keuangan, yang diatur lebih lanjut dalam tata tertib DPR.

Dari semua itu, jelas bahwa PAW adalah satu-satunya cara resmi dan legal untuk mengakhiri masa jabatan anggota DPR sebelum waktunya. Dan istilah “nonaktif” yang kini populer di kalangan partai, tidak memiliki kekuatan hukum apa pun, selain sekadar isyarat internal antara kader dan fraksi.

Kategori :