Kecanduan Dopamin Murahan, Gen Z Mulai Melawan Brain Rot dari Layar Ponsel Mereka Sendiri
Gen Z mulai sadar bahaya brain rot akibat kecanduan dopamin murahan dari media sosial dan kini melawan lewat detoks digital.-Foto: Freepik-
JAKARTA, PostingNews.id — Awalnya cuma sebuah video singkat di layar ponsel. Seorang remaja 19 tahun berbicara lugas dari Berlin, tanpa banyak basa-basi. Kalimatnya langsung menampar kebiasaan banyak anak muda hari ini.
“Kamu kecanduan dopamin murahan dan itu membunuh motivasimu,” ujar kreator TikTok Tiziana Bucec dalam video yang ia unggah pada Mei 2025.
Video itu bukan video biasa. Lebih dari 2,9 juta orang menontonnya. Ia menjadi bagian dari rangkaian konten anti brain rot yang rutin diunggah Bucec. Isinya bukan joget atau tantangan viral, melainkan ajakan melawan kebusukan otak akibat konsumsi konten digital berlebihan. Di salah satu unggahan, Bucec mengajak pengikutnya memperlambat diri.
“Mungkin hari ini, lakukan satu hal yang memberi otakmu imbalan tertunda—berjalan-jalan, menulis sesuatu, atau membersihkan ruanganmu.”
Bucec hanyalah satu dari gelombang baru influencer Gen Z yang mulai melawan sesuatu yang mereka sebut sebagai brain rot. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan kemunduran mental akibat terlalu lama menatap konten digital yang dangkal, berulang, dan tak ada habisnya. Scroll demi scroll, otak dibanjiri rangsangan cepat tanpa jeda.
BACA JUGA:Akses Diputus, PPDB Diambil Alih, Sengketa Madrasah Pembangunan UIN Jakarta Berujung Laporan Polisi
Gen Z sendiri adalah generasi raksasa. Lebih dari 70 juta remaja dan orang berusia dua puluhan yang lahir antara 1997 hingga 2012. Mereka tumbuh bersama layar. Sejak kecil, teknologi sudah ada di tangan. Referensi internet mereka beragam, tapi keluhan yang muncul di dunia maya terdengar mirip. Pikiran terasa penuh, lelah, dan sulit fokus akibat doomscrolling tanpa akhir.
Pengalaman pandemi ikut membentuk hubungan ini. Banyak Gen Z dipaksa menjalani masa SMA atau kuliah lewat layar. Dunia digital bukan sekadar hiburan, tapi ruang hidup. Tak heran jika ikatan mereka dengan internet terasa lebih intens dibanding generasi sebelumnya.
Data menunjukkan rata-rata Gen Z di Amerika menghabiskan lebih dari enam jam sehari untuk menggulir TikTok, YouTube, dan Instagram. Platform-platform ini sebelumnya dikenal mendorong pengguliran tanpa henti. Ironisnya, kini justru muncul konten yang mengingatkan bahaya kebiasaan itu sendiri. Anak muda mulai diajak menjaga pikirannya dari dalam platform yang sama.
Para ahli mulai angkat suara. Konsumsi media sosial yang berlebihan dinilai berpotensi memicu gejala penuaan otak lebih cepat pada orang dewasa muda. Istilahnya terdengar ekstrem, tapi risikonya nyata.
BACA JUGA:Gerakan Rakyat Mulai Pamer Otot, Nama Anies Muncul dan Isyarat Partai Kian Terbuka
Kerusakan otak dalam konteks ini bukan berarti jaringan otak rusak secara fisik. Masalahnya ada pada lingkungan mental yang terus-menerus dijejali rangsangan.
“Kerusakan otak sebenarnya tidak merusak otak kita,” kata Earl Miller, ahli saraf kognitif di Massachusetts Institute of Technology.
“Kerusakan otak terus-menerus menciptakan lingkungan yang tidak siap dihadapi oleh otak kita. Itulah masalah sebenarnya. Kita adalah makhluk yang berpikiran tunggal. Dan ketika semua informasi ini datang kepada kita, kita ingin mengonsumsi semuanya dan sulit untuk mematikan keinginan itu.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News