Setelah Banjir Bandang, Kayu-Kayu Hanyut Bisa Jadi Harapan Baru untuk Bangun Rumah Warga

Setelah Banjir Bandang, Kayu-Kayu Hanyut Bisa Jadi Harapan Baru untuk Bangun Rumah Warga

Kayu hanyut sisa banjir bandang di Sumatera dan Aceh dinilai bisa dimanfaatkan untuk membangun rumah warga dan mempercepat pemulihan.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id – Banjir bandang yang menerjang Sumatera dan Aceh tidak hanya meninggalkan rumah porak-poranda dan lumpur setinggi dada orang dewasa. Di balik genangan yang surut perlahan, ada pemandangan lain yang ikut terbawa arus. Ribuan batang kayu gelondongan, ranting, dan potongan pohon berserakan di mana-mana. Ada yang tersangkut di sisa bangunan, ada yang menumpuk di tikungan sungai, ada pula yang masih hanyut entah ke mana.

Bagi sebagian orang, kayu-kayu itu mungkin tampak seperti sisa bencana yang merepotkan. Namun bagi arsitek urbanis Marco Kusumawijaya, tumpukan tersebut justru menyimpan peluang. Ia melihat kayu-kayu itu bukan sebagai sampah, melainkan sumber daya yang harus segera diselamatkan sebelum kembali hilang dibawa hujan berikutnya.

Marco mendorong pemerintah untuk bergerak cepat mengamankan kayu-kayu yang tersisa di area terdampak. Menurutnya, waktu adalah faktor kunci karena hujan lebat diperkirakan kembali turun pada Januari dan Februari. Jika dibiarkan, kayu-kayu tersebut bisa hanyut lebih jauh atau malah menjadi ancaman baru.

“Menyelamatkan ranting cabang dan pohon itu untuk apa? Untuk dimanfaatkan oleh masyarakat,” ujar Marco, dikutip dari tayangan YouTube Abraham Samad Speak Up, Rabu 17 Desember 2025.

BACA JUGA:Pasfoto Terlalu Mulus sampai Logo Terlihat Baru, Analisis Teknis Roy Suryo Bikin Ijazah Jokowi Ramai Lagi

Ia mengingatkan bahwa gelondongan kayu dalam jumlah besar bisa berubah menjadi bahaya laten. Kayu-kayu itu berpotensi menghantam bangunan yang masih berdiri, memperparah kerusakan yang belum selesai dibenahi. “Jangan lupa waktu tsunami Aceh itu bangunan yang rubuh itu lalu menghantam bangunan lain yang belum rubuh,” terangnya.

Di mata Marco, sisa-sisa banjir justru bisa menjadi modal awal pemulihan. Ranting dan batang kayu yang terbawa arus dapat dimanfaatkan sesuai ukurannya. Yang kecil bisa menjadi kayu bakar, yang sedang bisa difungsikan sebagai kasau, sementara yang besar dapat dijadikan tiang. Semua itu bisa dipakai kembali untuk membangun hunian sementara, bahkan rumah permanen di kemudian hari.

 “Ranting bisa jadi bahan bakar kayu bakar. Yang ukurannya di bawah 10 cm bisa jadi kasau. Yang ukurannya 10 cm atau lebih besar bisa jadi tiang. Bisa dipakai kembali untuk merehabilitasi. Bahkan rumah sementara, bahkan rumah tetap nantinya,” jelas Marco.

Pemanfaatan kayu ini juga menjawab persoalan besar lain di wilayah pascabanjir. Lumpur yang menumpuk bisa mencapai ketebalan hingga dua meter. Membersihkannya bukan pekerjaan sederhana, apalagi dengan keterbatasan alat berat dan dana. Karena itu, Marco menyarankan pendekatan yang lebih realistis.

BACA JUGA:Gerakan Rakyat Mulai Pamer Otot, Nama Anies Muncul dan Isyarat Partai Kian Terbuka

Ia mengusulkan agar warga membangun rumah di atas lumpur yang telah mengering, alih-alih memaksakan pembersihan total. Teknik cerucuk menjadi kunci dalam pendekatan ini.

 “Agak enggak mungkin menyingkirkan lumpur itu. Jadi kalau Anda mau membangun, Anda harus membangun di atas tanah-tanah yang udah mengering itu,” tuturnya.

Meski tanah bekas lumpur tergolong lemah, kekuatannya bisa ditopang dengan batang-batang kayu sisa banjir. Batang tersebut ditancapkan ke dalam tanah sebagai cerucuk untuk menopang struktur bangunan.

“Tanah ini kan lemah. Tapi bisa diperkuat dengan cerucuk. Cerucuk itu adalah batang-batang kayu yang ditancapkan. Itu akan cukup kuat untuk rumah satu dua lantai. Tanpa harus menyingkirkan tanahnya itu,” papar Marco.

Karena itu, Marco menilai kayu-kayu yang kini berserakan justru memiliki nilai strategis. Ia menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mengelola dan membuka akses pemanfaatan kayu tersebut bagi masyarakat.

BACA JUGA: BRIN Turun Tangan di Tengah Banjir Sumatera, Mobil Arsinum Sulap Air Lumpur Jadi Minum

“Karena itu sumber daya kayu yang sekarang begitu banyak ini strategis. Menurut saya harus diselamatkan dan dinyatakan boleh dimanfaatkan oleh masyarakat. Tetapi tentu dikelola gitu ya. Kan ada pemerintah daerah,” lanjutnya.

Menurut Marco, mendatangkan material bangunan dari luar daerah bukan pilihan efisien. Jalan rusak, jembatan terputus, dan distribusi tersendat justru membuat biaya membengkak. Dalam kondisi seperti ini, mengandalkan sumber daya lokal menjadi jalan paling masuk akal.

Ia memahami bahwa banyak pemerintah kabupaten kewalahan. Tidak sedikit yang kehabisan dana dan tidak memiliki alat berat. Namun keterbatasan itu, kata Marco, bukan alasan untuk berhenti mengelola. Peran manajerial tetap bisa dijalankan.

 “Makanya ada 6 atau 7 kabupaten menyerahkan kan gitu karena tidak punya alat, tidak punya dana, Tapi dia berjalan. Nah dia bisa melakukan pengelolaan ini,” kata Marco.

BACA JUGA:Tanda-Tanda Sudah Muncul, Rocky Gerung Ingatkan Crossfire Elite dan Rakyat Awal 2026

Langkah paling sederhana yang bisa dilakukan pemerintah adalah memfasilitasi alat kerja dasar agar warga dapat mengolah kayu secara mandiri.

 “Limbah-limbah kayu ini. Jangan disebut limbah sebetulnya karena ini masih bisa dimanfaatkan, dikumpulkan, dipilah, lalu dibagikan kepada masyarakat. Dibantu dengan peralatan. Kirim gergaji, kirim kapak, kirim cangkul, kirim sekop,” tegasnya.

Bagi Marco, saat inilah momentum yang tidak boleh dilewatkan. Penanganan darurat bisa berjalan beriringan dengan penyelamatan material yang masih tersisa.
“Nah ini sekarang saat yang tepat gitu. Jadi sambil melakukan operasi tanggap darurat, ini bahan-bahan ini diselamatkan,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share