KemenHAM: Negara Baru Sentuh 600 Korban, Ribuan Kasus HAM Berat Masih Terjebak di Lorong Gelap

KemenHAM: Negara Baru Sentuh 600 Korban, Ribuan Kasus HAM Berat Masih Terjebak di Lorong Gelap

KemenHAM mengungkap negara baru memulihkan sekitar 600 dari 7.000 korban pelanggaran HAM berat. Penyelesaian dinilai belum memuaskan.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id – Angka itu sebetulnya sederhana, tapi bunyinya bikin dahi berkerut. Dari sekitar 7.000 korban pelanggaran HAM berat di Indonesia, negara baru menyentuh kurang lebih 600 orang. Sisanya masih menunggu, entah di mana ujungnya.

Fakta itu disampaikan Kementerian Hak Asasi Manusia ketika meluncurkan peta jalan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Jakarta, Senin 15 Desember 2025. Di hadapan publik, Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Munafrizal Manan tak menutup-nutupi kenyataan bahwa upaya pemulihan yang selama ini ditempuh pemerintah masih jauh dari kata tuntas.

“Menjadi pertanyaan juga apakah penyelesaian non-yudisial itu juga sudah memuaskan," kata Munafrizal.

Pertanyaan itu bukan tanpa alasan. Secara statistik, capaian pemulihan korban masih berada jauh di bawah sepuluh persen. Negara memang sudah bergerak, tetapi gerakannya belum cukup menjangkau sebagian besar korban yang telah teridentifikasi.

BACA JUGA:Psikologi Utang, Kenapa Orang Lebih Mudah Minjam daripada Membayar?

"Kalau lihat dari statistik saja, ada sekitar 7.000 yang sudah teridentifikasi yang korban, berbagai korban itu, itu baru sekitar 600 sekian yang sudah terjangkau oleh negara untuk diberikan pemulihan, yang memberi benefit bagi korban-korban," ujarnya.

Bagi Munafrizal, angka tersebut memunculkan tanda tanya besar soal efektivitas mekanisme penyelesaian non-yudisial yang selama ini menjadi tumpuan. Ia menilai, jika ukuran keberhasilannya adalah kepuasan dan rasa keadilan korban, maka capaian saat ini belum bisa disebut menggembirakan. Apalagi jika melihat kenyataan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia secara keseluruhan belum pernah benar-benar diselesaikan sampai ke ujung.

"Saya kira diakui ataupun tidak diakui faktanya adalah kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sampai saat ini belum terselesaikan. Jadi ini salah satu warisan sejarah yang sampai hari ini kita hadapi, kita belum bisa menghadirkan penyelesaian final atas kasus-kasus tersebut," kata dia.

Upaya demi upaya memang telah dilakukan dari masa ke masa. Namun hasilnya kerap berputar di tempat. Munafrizal menggambarkan situasi itu seperti orang yang tersesat di lorong panjang tanpa petunjuk arah. "Upaya-upaya sudah dilakukan, tetapi sampai sekarang kita seolah menghadapi suatu labirin yang kita tidak tahu bagaimana jalan keluarnya," sambungnya.

BACA JUGA:Melihat Hantu Itu Nyata atau Cuma Ulah Otak? Ini yang Sebenarnya Terjadi Menurut Sains

Ia menyadari, persoalan ini bukan hanya milik Indonesia. Banyak negara lain yang pernah mengalami pelanggaran HAM berat menghadapi dilema serupa. Beberapa memang menutup kasus secara formal dan membuka lembaran sejarah baru. Namun di balik itu, ketidakpuasan korban kerap tetap membekas.

Munafrizal menyinggung pengalaman Jerman pada masa Nazi, Rwanda pascagenosida, Afrika Selatan setelah apartheid, hingga Bosnia. Menurutnya, meski secara administratif atau politik kasus-kasus itu dinyatakan selesai, rasa keadilan yang dirasakan korban tidak selalu sejalan dengan keputusan negara.

"Kalau mau disebut penyelesaian yang memuaskan, pengalaman-pengalaman negara lain juga itu masih menyisakan pertanyaan besar untuk disebut memuaskan," ujarnya.

Di Indonesia sendiri, pemerintah pernah mencoba jalur yudisial. Empat kasus pelanggaran HAM berat dibawa ke pengadilan, yakni Timor Timur, Abepura, Tanjung Priok, dan Paniai. Namun proses hukum itu berakhir tanpa pemidanaan terhadap pelaku.

BACA JUGA:Puluhan Tahun Berlalu, Kasus HAM Berat Masih Gelap, KemenHAM Akui Belum Mampu Menutup Luka Sejarah

Bagi Munafrizal, kenyataan tersebut kembali membuka ruang pertanyaan dari sudut pandang korban dan keluarganya. “Artinya itu pun dalam perspektif keadilan orang-orang dan keluarganya juga mungkin akan bertanya juga apakah penyelesaian yudisial seperti itu," katanya.

Ia menjelaskan bahwa salah satu hambatan terbesar dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat adalah soal pembuktian. Sebagai tindak pidana khusus, standar pembuktiannya sangat tinggi dan ketat.

“Untuk bisa menghukum orang itu kan harus beyond reasonable doubt, jadi tidak boleh ada keraguan. Nah lembaran pembuktian itulah yang dihadapi oleh penegak hukum sulit ya," ucapnya.

Kesulitan itu pula yang membuat banyak kasus mandek. Hingga kini, selain empat perkara yang sudah pernah disidangkan, masih ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum tersentuh penyelesaian secara tuntas. Persoalan pembuktian kembali menjadi tembok yang sama, sebagaimana juga kerap disampaikan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

BACA JUGA:Ketika Hutan Ditebang Tanpa Ampun, Bencana pun Datang Tak Kenal Ampun

Di tengah situasi tersebut, Munafrizal berharap peta jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat yang diluncurkan KemenHAM tidak berhenti sebagai dokumen. Ia ingin peta jalan itu menjadi pegangan dalam merumuskan kebijakan ke depan, baik di jalur penegakan hukum maupun dalam upaya pemulihan korban.

Harapannya sederhana, negara tidak lagi sekadar mencatat angka, tetapi benar-benar hadir untuk mereka yang selama puluhan tahun menunggu keadilan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share