Puluhan Tahun Berlalu, Kasus HAM Berat Masih Gelap, KemenHAM Akui Belum Mampu Menutup Luka Sejarah

Puluhan Tahun Berlalu, Kasus HAM Berat Masih Gelap, KemenHAM Akui Belum Mampu Menutup Luka Sejarah

Menteri HAM Natalius Pigai. -Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id – Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia kembali diakui masih jalan di tempat. Negara, lewat Kementerian Hak Asasi Manusia, menyatakan hingga hari ini belum ada satu pun mekanisme yang benar-benar mampu menutup lembar panjang pelanggaran HAM berat yang diwariskan sejarah.

Pengakuan itu disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM KemenHAM, Munafrizal Manan, saat peluncuran dan publikasi peta jalan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Jakarta pada Senin 15 Desember 2025. Di hadapan publik, Munafrizal tak menutupi fakta bahwa berbagai jalur yang sudah ditempuh belum menghasilkan ujung cerita yang menenteramkan, terutama bagi korban dan keluarga mereka.

"Diakui ataupun tidak diakui, faktanya adalah kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sampai saat ini belum terselesaikan," kata Munafrizal. Ia menyebut kondisi ini sebagai kenyataan pahit yang masih harus dihadapi negara, tanpa kecuali.

Menurut dia, persoalan tersebut bukan sekadar soal proses hukum yang berlarut. Lebih dari itu, ada beban sejarah yang terus menghantui negara hingga sekarang. "Ini salah satu warisan sejarah yang sampai hari ini kita hadapi, kita belum bisa menghadirkan penyelesaian final atas kasus-kasus tersebut," imbuhnya.

BACA JUGA:Banjir Besar Sumatera Buka Borok Lama, Prabowo Perintahkan Penertiban Pembalakan Liar

Munafrizal menggambarkan situasi penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia seperti berjalan di lorong berliku. Upaya demi upaya sudah dicoba, baik lewat jalur pengadilan maupun pendekatan non-yudisial, namun hasilnya belum membawa keluar dari kebuntuan. Negara, kata dia, seolah masih berputar di dalam labirin tanpa pintu keluar yang jelas.

Meski demikian, Munafrizal menegaskan bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami kesulitan serupa. Sejumlah negara lain yang pernah diguncang pelanggaran HAM berat juga menghadapi persoalan yang tak kalah pelik. Bahkan di negara-negara yang secara formal menyatakan kasusnya telah selesai, rasa keadilan tak selalu benar-benar dirasakan korban.

Ia mencontohkan pengalaman Jerman pada masa kelam rezim Nazi. Menurutnya, meskipun penyelesaian dilakukan hingga ke tingkat pengadilan HAM internasional, hasilnya tetap menyisakan rasa tidak puas. “Apa yang terjadi di Jerman dulu pada masa Nazi, ada penyelesaian bahkan di gelar pengadilan HAM internasional mungkin terakhir itu, tapi juga itu bukan penyelesaian yang memuaskan. Karena sampai sekarang juga masih banyak juga yang merasa tidak puas atas penyelesaian itu," jelasnya.

Munafrizal lalu menyebut contoh lain dari Rwanda, Afrika Selatan, hingga Bosnia. Negara-negara tersebut sama-sama menghadapi dilema serupa. "Atau misalnya contoh kasus lain di Rwanda juga seperti itu, Afrika Selatan, Bosnia yang terjadi, semua seperti itu," sambung dia.

BACA JUGA:Data Terbaru BNPB, Korban Bencana Sumatera Lewati Seribu Jiwa dan Ratusan Belum Ditemukan

Dari pengalaman berbagai negara itu, Munafrizal menarik satu benang merah. Penyelesaian pelanggaran HAM berat hampir tidak pernah benar-benar memuaskan semua pihak, terutama mereka yang menjadi korban langsung dan keluarga yang kehilangan. Luka sejarah, kata dia, sering kali terlalu dalam untuk disembuhkan hanya dengan satu putusan hukum.

Di Indonesia sendiri, jalur yudisial sudah pernah ditempuh terhadap empat kasus besar, yakni Timor Timur, Abepura, Tanjung Priok, dan Paniai. Namun proses pengadilan tersebut berakhir tanpa satu pun pelaku dijatuhi hukuman. Kondisi itu, menurut Munafrizal, justru menimbulkan pertanyaan baru di tengah masyarakat. “Artinya itu pun dalam perspektif keadilan orang-orang dan keluarganya juga mungkin akan bertanya juga apakah penyelesaian yudisial seperti itu," ujar dia.

Ia menjelaskan, salah satu hambatan paling krusial dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat adalah persoalan pembuktian. Sebagai tindak pidana khusus, kasus-kasus ini menuntut standar pembuktian yang sangat ketat. Tidak cukup hanya dugaan atau kesaksian yang lemah.

“Untuk bisa menghukum orang itu kan harus beyond reasonable doubt, jadi tidak boleh ada keraguan. Nah lembaran pembuktian itulah yang dihadapi oleh penegak hukum sulit ya," katanya. Menurutnya, tantangan ini dihadapi tidak hanya oleh aparat penegak hukum, tetapi juga lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses penyelidikan.

BACA JUGA:Psikologi Utang, Kenapa Orang Lebih Mudah Minjam daripada Membayar?

Hingga kini, Munafrizal menyebut masih ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas. Persoalan pembuktian terus menjadi batu sandungan, baik di tingkat Komnas HAM maupun Kejaksaan Agung, dalam menindaklanjuti kasus-kasus tersebut.

Selain jalur pengadilan, pemerintah juga pernah mengambil langkah non-yudisial, terutama pada masa pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Langkah itu ditempuh melalui pembentukan tim khusus dan penerbitan sejumlah keputusan presiden yang bertujuan memberikan pemulihan kepada korban.

Namun Munafrizal menilai, pendekatan non-yudisial tersebut juga belum sepenuhnya menjawab harapan korban. Data yang ada menunjukkan kesenjangan besar antara jumlah korban dan mereka yang benar-benar menerima pemulihan dari negara. Dari sekitar 7.000 korban yang telah teridentifikasi, baru sekitar 600 orang yang mendapatkan pemulihan.

“Artinya kurang dari 10 persen, 7.000 yang sudah teridentifikasi," ungkapnya. Angka itu, kata Munafrizal, menjadi pengingat bahwa perjalanan menuju keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat masih panjang dan belum selesai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share