Gaya Hidup Hijau di Kota, Antara Niat Mulia dan Ajakan Belanja Berkedok Peduli Bumi

Gaya Hidup Hijau di Kota, Antara Niat Mulia dan Ajakan Belanja Berkedok Peduli Bumi

Tren hidup hijau mendorong konsumsi baru. Tumbler, totebag, dan produk hijau jadi simbol kelas, sementara kapitalisme hijau makin menguat.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id – Di sebuah kafe di Jakarta, Wikandini yang berusia 25 tahun menaruh tumbler pastel kesayangannya di atas meja seperti benda wajib yang tidak boleh jauh dari tangan. Ia bekerja di bidang media sosial dan advertorial, namun keakrabannya dengan tumbler bukan hanya soal ikut kampanye mengurangi plastik. Baginya, benda itu sekaligus tanda pengenal. Ia bilang bentuk dan warnanya bisa ikut memantulkan karakter. "Lucu, kadang nunjukin kepribadian kita" katanya, dikutip dari Deutsche Welle Indonesia, Jumat, 5 Desember 2025.

Wika mulai memakai tumbler sejak 2017. Awalnya untuk alasan sederhana yaitu minum air lebih banyak dan berhenti membeli botol sekali pakai. Tapi seperti banyak tren yang awalnya hemat lalu berubah jadi boros, koleksi tumbler Wika kini membengkak menjadi enam. Ia tertawa kecil sambil mengakui kenyataan itu. "Kalau terus-terusan ikut tren, jatuhnya jadi mubazir."

Fenomena kecil di meja kafe itu mencerminkan paradoks hidup ramah lingkungan di kota besar. Di balik ajakan mengurangi sampah plastik, lahir dorongan konsumsi baru. Barang-barang yang dulunya dipuji karena fungsi seperti tumbler, totebag, dan sedotan stainless kini menjelma simbol gaya hidup, selera, dan status kelas menengah urban.

Wika mengaku membawa tumbler lengkap dengan sedotan stainless dan totebag sudah menjadi tren di lingkar pertemanannya. "Kalau enggak bawa tumbler, rasanya ada yang kurang. Selain ramah lingkungan, jadi keliatan makin keren dan edgy aja" ujarnya. Ia menyebut kombinasi warna senada antara totebag, sedotan stainless, dan tumbler bisa jadi kebanggaan tersendiri. "Apalagi kalau bisa senada antara totebag, sedotan stainless, dengan tumbler-nya. Kan kelihatan lucu, ya" tambahnya.

BACA JUGA:Kemendagri Heran Bupati Aceh Selatan Pilih Umrah Saat Warganya Kebanjiran

Di sisi lain, lonjakan minat terhadap produk hijau tidak melulu soal cinta lingkungan. Genta Mahardhika, dosen sosiologi dari Universitas Brawijaya, menjelaskan bahwa konsumsi ramah lingkungan juga merupakan cara kelas menengah mengungkapkan identitas. "Kepedulian lingkungan itu nyata, tapi cara mengekspresikannya lewat belanja produk tertentu juga mencerminkan gaya hidup kelas menengah yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan membeli sesuatu" ujarnya.

Menggunakan tumbler atau totebag, menurut Genta, bukan barang mewah, tetapi cukup eksklusif untuk menandai posisi sosial. Konsep Pierre Bourdieu tentang konsumsi sebagai penanda kelas kembali relevan di sini.

Minat konsumen Indonesia terhadap produk ramah lingkungan terus meningkat. Survei GoodStats dan Snapcart menunjukkan 84 persen konsumen Indonesia pernah memakai produk ramah lingkungan. Gaya hidup hijau tidak lagi ceruk, tetapi hampir arus utama.

Penelitian PwC Indonesia pada 2023 juga menemukan bahwa 80 persen konsumen bersedia membayar lebih untuk merek dengan komitmen ESG. Preferensi ini ikut mendorong industri bergerak mengikuti tren. Selain tekanan regulasi soal plastik sekali pakai, tingginya permintaan produk hijau membuat pasar kemasan berkelanjutan tumbuh pesat.

BACA JUGA:Pemerintah Garuk-garuk Kepala, 43 Cagar Budaya Ternyata Ikut Jadi Korban Banjir Sumatera

IMARC, sebuah perusahaan riset pasar, memperkirakan nilai pasar kemasan berkelanjutan Indonesia mencapai sekitar 5,3 miliar dolar Amerika Serikat pada 2024 dan diproyeksikan melaju ke 9 miliar dolar AS pada 2033. Pasar hijau bukan lagi gerakan moral semata, tetapi peluang bisnis besar.

Saat hijau dijual secara estetis dan disebar algoritma

Popularitas barang ramah lingkungan juga tidak bisa dilepaskan dari dorongan media sosial. Wika mengakui kebiasaannya memotret dan mengunggah tumbler serta totebag dari berbagai merek maupun warna membuat ia dan temannya merasa lebih terlihat. "Sekarang kan Gen Z itu tertarik dengan hal-hal yang lucu. Apalagi sesuatu yang lagi hype, dipakai sama influencer, biasanya pengen punya juga" katanya.

Genta menilai algoritma dan influencer berperan besar dalam melanggengkan konsumsi hijau sebagai standar baru. "Algoritma itu pintar. Kalau kita pernah lihat konten tumbler lucu, beranda kita akan penuh dengan itu. Kita jadi merasa ini gaya hidup normal yang harus diikuti" ujarnya.

Menurutnya, estetika ramah lingkungan seperti warna pastel, desain minimalis, dan unggahan minuman dalam tumbler stainless menjelma narasi aspiratif. Dalam kondisi ini muncul gejala greenwashing moral yaitu saat konten lingkungan di media sosial sebenarnya merupakan iklan terselubung yang dibungkus idealisme.

BACA JUGA:Hutan Hilang, Satwa Kian Terdesak, Kita Masih Berpikir Itu Sekadar Pohon Tumbang di Sumatera

Fenomena membeli ulang barang reusable sebenarnya kontradiktif, tetapi makin lazim. Genta menyebut ini sebagai bagian dari mekanisme kapitalisme hijau. Ia menjelaskan bahwa industri membaca keresahan publik pada krisis lingkungan sebagai peluang bisnis lalu menghadirkan produk sebagai solusi instan. "Mereka membuat kita merasa bahwa cara menunjukkan kepedulian adalah melalui pembelian. Pesannya sederhana, kalau kamu peduli lingkungan, belilah ini" ujarnya.

Padahal banyak produk ramah lingkungan tidak benar-benar hijau bila dihitung dari hulu ke hilir. Studi Life Cycle Assessment mencatat bahwa sedotan stainless membutuhkan energi dan emisi hampir empat kali lebih besar dibanding sedotan plastik. Untuk benar-benar lebih rendah emisinya, sedotan stainless dianjurkan dipakai setidaknya sekitar seratus kali.

Akhirnya lahir paradoks. Barang yang dirancang untuk mengurangi sampah justru menghasilkan konsumsi baru jika dibeli berulang. Respons kelas menengah yang cenderung ingin solusi cepat ikut menguatkan pola ini.

Di tengah hiruk pikuk gaya hidup hijau yang semakin komersial, Genta mengingatkan kembali bahwa inti keberlanjutan tidak terletak pada banyaknya barang. Hidup ramah lingkungan membutuhkan perubahan cara pandang serta sistem pendukung, bukan sekadar koleksi pastel dan stainless.

BACA JUGA:Di Pengungsian Banjir Sumatera, Warga Mulai Sakit Satu per Satu, Ada yang Diare, Ada yang ISPA

Refleksi serupa muncul pada Wika. "Aku jadi mikir, sebenarnya kalau terus-terusan FOMO ikuti tren, itu enggak bakal ada habisnya" katanya. Setelah menyadari jumlah tumblernya sudah setara etalase toko kecil, ia mulai menahan diri. "Sekarang aku nanemin, apa yang sudah punya ya itu dulu. Kalau sudah rusak baru beli lagi."

Genta menutup dengan penekanan bahwa komitmen pada bumi tidak diukur dari benda yang dibeli, tetapi dari perubahan pola produksi dan konsumsi yang lebih mendasar. "Sejatinya, menyelamatkan lingkungan bukan persoalan membeli produk apa, tetapi mengubah cara kita memproduksi dan mengonsumsi secara menyeluruh" ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share