Smelter Nikel Dibatasi, Pemerintah Dorong Investasi ke Produk Hilir Bernilai Tinggi

Smelter Nikel Dibatasi, Pemerintah Dorong Investasi ke Produk Hilir Bernilai Tinggi

Pemerintah resmi batasi izin smelter nikel baru lewat PP 28/2025. Kebijakan ini dorong investasi ke hilirisasi nikel seperti baja tahan karat dan baterai EV.-Foto: Antara-

BACA JUGA:Dilema Ojek Online: Aplikator Tersenyum, Driver Murung

Berdasarkan data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), empat smelter besar di Sulawesi telah menghentikan sebagian atau seluruh produksinya. PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) mengurangi 15–20 lini produksi sejak awal 2024. PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) menghentikan beberapa jalur baja nirkarat. PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe menurunkan kapasitas produksinya, dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) bahkan menghentikan operasional sementara sejak Juli 2025, berdampak pada 1.200 pekerja.

“Hal ini juga penting untuk menjaga kesinambungan pasokan nikel. Selain itu, juga untuk menjaga keseimbangan nilai keekonomian produk nikel,” ucap Bisman.

Ia menilai pemerintah ke depan perlu fokus membangun ekosistem industri nikel yang lengkap hingga ke produk turunan bernilai tinggi. Meski demikian, Bisman mengingatkan potensi dampak negatif dari kebijakan baru ini, terutama bagi investor yang telah merencanakan pembangunan smelter dengan produk intermediate. “Dampak negatifnya mungkin terkait kepercayaan investor terutama investor yang sudah siap-siap mau bangun smelter,” ujarnya.

Dari sisi lain, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menekankan bahwa pembatasan smelter seharusnya disertai moratorium izin tambang. Ia menilai, tanpa pengendalian di hulu, kebijakan di hilir hanya akan memindahkan masalah.

BACA JUGA:Rekam Jejak Kelam Soeharto di Balik Gelar Pahlawannya

Bhima mencatat saat ini sudah ada 54 smelter nikel yang beroperasi, 38 dalam tahap konstruksi, dan 45 masih dalam perencanaan. Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga telah menyetujui 292 izin rencana kerja dan anggaran biaya pertambangan dengan total luas wilayah mencapai 866.292 hektare.

“Dengan luasan konsesi yang begitu besar dan izin tambang yang terus bertambah, meski izin smelter baru dimoratorium, tanpa kontrol di sektor hulu hanya akan memindahkan tekanan dari industri pengolahan ke kawasan tambang,” ucap Bhima.

Ia mengingatkan, jika IUPK tidak dikendalikan, dampak ekologis dan sosial bisa semakin parah. Berdasarkan laporan Celios dan CREA, kerugian ekonomi masyarakat sekitar tambang dalam 13 tahun ke depan bisa mencapai US$234,84 juta atau sekitar Rp3,64 triliun, dengan potensi lebih dari 3.800 kematian dini pada 2025 dan hampir 5.000 pada 2030.

Bhima juga menyoroti kontradiksi antara kebijakan moratorium smelter dengan rencana pemerintah melalui Danantara untuk membiayai pembangunan smelter baru milik Vale Indonesia (INCO) dan GEM Co. Ltd. asal China. “Kontradiksi ini memperlihatkan inkonsistensi kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya menahan ekspansi, tetapi di sisi lain tetap mendorong investasi baru melalui skema pembiayaan negara,” kata Bhima.

Kebijakan pembatasan izin smelter nikel ini menandai babak baru dalam strategi hilirisasi Indonesia. Namun seperti halnya nikel yang diproses bertahap sebelum menjadi logam murni, kebijakan ini pun masih memerlukan pemurnian agar benar-benar menghasilkan keseimbangan antara ekonomi, lingkungan, dan kepercayaan investor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News