Rekam Jejak Kelam Soeharto di Balik Gelar Pahlawannya
Soeharto resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Prabowo, namun rekam jejak pelanggaran HAM di era Orde Baru kembali mencuat dan menuai kritik publik.-Foto: Antara-
JAKARTA, PostingNews.id – Di tengah derasnya arus kritik dari masyarakat sipil, Presiden Prabowo Subianto tetap melangkah dengan keputusan yang menimbulkan perdebatan. Pada peringatan Hari Pahlawan, Senin, 10 November 2025, Prabowo resmi menetapkan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional. Keputusan itu dibacakan di Istana Negara, tempat Prabowo—yang juga menantu Soeharto setelah menikahi Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto—memimpin upacara penganugerahan.
Dalam prosesi tersebut, Sekretaris Militer Presiden, Wahyu Yudhayana, membacakan Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. “Memutuskan, menetapkan dan seterusnya. Satu, memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mereka yang namanya tersebut. Keputusan ini sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa yang luar biasa untuk kepentingan mewujudkan kesatuan dan kesatuan bangsa,” ucap Wahyu.
Nama Soeharto berdiri sejajar dengan sembilan tokoh lain, namun justru menjadi pusat sorotan. Kritik publik langsung bermunculan, terutama dari kelompok masyarakat sipil yang menilai bahwa Soeharto tidak layak menerima penghargaan sebesar itu mengingat rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia di masa pemerintahannya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya, menegaskan bahwa Soeharto bertanggung jawab atas sejumlah kasus pelanggaran HAM berat selama 32 tahun berkuasa. Ia menjelaskan, hasil penyelidikan pro-yustisia yang dilakukan oleh Komnas HAM mencatat sembilan kasus pelanggaran HAM berat terjadi di bawah kepemimpinan Soeharto, termasuk peristiwa 1965–1966.
BACA JUGA:Tutut Soeharto Soal Polemik Gelar Pahlawan Ayahnya: Kami Tak Perlu Membela Diri, Rakyat Sudah Pintar
“Sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Soeharto bertanggung jawab dalam peristiwa yang menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massa, dan pembuangan ke Pulau Buru,” kata Dimas dalam keterangannya kepada wartawam, Senin, 10 November 2025.
Ia menambahkan bahwa kebijakan represif itu juga muncul dalam peristiwa penembakan misterius pada 1981–1985. Dimas menyebut, pidato kenegaraan Soeharto pada Agustus 1981 bahkan memperkuat pendekatan kekerasan negara dengan menyatakan bahwa pelaku kriminal harus diperlakukan sama seperti mereka memperlakukan korbannya. Menurut catatan Amnesty International, kebijakan ini menelan korban hingga 5.000 jiwa di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bandung.
“Lalu pada peristiwa Tanjung Priok 1984. Peristiwa ini erat kaitannya dengan kebijakan represif yang diterapkan rezim Orde Baru Soeharto,” ujar Dimas.
Rentetan kebijakan kekerasan juga muncul di Talangsari, Lampung pada 1989. Berdasarkan laporan tim adhoc penyelidikan pelanggaran HAM berat, kebijakan ini menewaskan 130 orang, mengusir 77 orang secara paksa, menahan 53 orang tanpa prosedur, menyiksa 45 orang, dan menganiaya lebih dari 200 orang lainnya.
BACA JUGA:Tak Hanya Gelar Kehormatan, Ahli Waris Pahlawan Nasional Terima Rp 50 Juta Tiap Tahun
Tak berhenti di situ, Soeharto juga disebut bertanggung jawab atas pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh antara 1989–1998. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh mencatat 1.792 tindakan kekerasan selama operasi berlangsung, termasuk penangkapan, penyiksaan, kekerasan seksual, penghilangan paksa, dan perusakan harta benda. “Operasi militer ini telah melahirkan penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat Aceh, khususnya perempuan dan anak-anak,” ujar Dimas.
Dimas menegaskan bahwa daftar pelanggaran HAM di era Soeharto sangat panjang—mulai dari peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis, penghilangan orang secara paksa pada 1997–1998, hingga tragedi Trisakti dan Semanggi, kerusuhan Mei 1998, serta pembunuhan massal terhadap dukun santet. “Selain kasus itu, di pemerintahan Soeharto juga terjadi pembunuhan terhadap aktivis buruh Marsinah pada 1993, pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin pada 1996, penembakan warga di pembangunan Waduk Nipah Madura pada 1993, penyerangan kantor DPP PDI, pembreidelan media massa, hingga penerbitan larangan berorganisasi dengan penetapan normalisasi kehidupan kampus,” katanya.
Nada serupa datang dari Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur. Ia menilai penganugerahan ini sebagai bentuk pengingkaran terhadap hukum dan hak asasi manusia. Menurut Isnur, Soeharto seharusnya tidak bisa dianugerahi gelar Pahlawan Nasional karena terikat sejumlah pelanggaran hukum dan putusan pengadilan.
Ia menyebut empat aturan dan putusan penting yang bertentangan dengan keputusan Prabowo. “Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat di berbagai peristiwa dan menyebabkan terjadinya genosida,” ujarnya. Menurut Isnur, Soeharto terlibat dalam peristiwa 1965–1966, penembakan misterius 1982–1985, peristiwa Talangsari, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, penghilangan paksa 1997–1998, hingga kerusuhan Mei 1998 serta tragedi Trisakti dan Semanggi.
Ia juga menyinggung Ketetapan MPR X dan XI tahun 1998 yang menegaskan adanya penyimpangan kekuasaan, penyalahgunaan wewenang, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di bawah pemerintahan Soeharto. “Lalu TAP MPR XI 1998 yang menyebutkan Soeharto dan pemerintahannya adalah pemerintahan yang penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata Isnur.
BACA JUGA:Menteri Sosial Minta Publik Ingat Sisi Baik Soeharto
YLBHI juga mengingatkan putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015 yang menyatakan Yayasan Supersemar Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar Rp 4,4 triliun kepada negara.
Menurut Isnur, keputusan ini memperlihatkan wajah pemerintahan yang mengabaikan konstitusi dan menyakiti publik. Ia menyebut langkah Prabowo menganugerahkan gelar kepada Soeharto sebagai tindakan yang mencederai rasa keadilan. “YLBHI mengecam keras pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto,” katanya.
Laporan Stolen Asset Recovery Initiative dari UNODC dan Bank Dunia bahkan menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di abad ke-20. Namun, di balik semua catatan itu, pemerintah tetap menempatkan nama Soeharto dalam daftar tokoh yang dianggap berjasa besar bagi bangsa—sebuah keputusan yang menegaskan betapa sejarah Indonesia masih terus menjadi medan tarik menarik antara penghormatan dan pengampunan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News