Usman Hamid Kritik Setahun Prabowo - Gibran

Usman Hamid Kritik Setahun Prabowo - Gibran

Prabowo menyinggung mafia minyak yang kaya dari hasil haram. Ia bilang, rezeki kotor tak akan membawa berkah, malah jadi sumber kesialan.-Foto: IG @presidenrepublikindonesia-

 

POSTINGNEWS.ID - Direktur Amnesti Internasional Usman Hamid berkata bahwa kondisi hak asasi manusia (HAM) setahun pemerintahan era Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengalami erosi terparah akibat maraknya kebijakan, tindakan, dan praktik-praktik otoriter, kata Amnesty International Indonesia hari ini.

Erosi hak-hak asasi manusia disebabkan oleh pembuatan kebijakan yang populis dan tidak partisipatif, yang terus menjadi pilihan utama alih-alih dialog dengan warga. Dialog baru menjadi pilihan saat protes meluas, atau saat telah jatuh korban.

Di sektor politik, kebijakan itu ialah remiliterisasi ruang sipil dan pemerintahan, revisi UU TNI, penulisan ulang sejarah, penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional, hingga Perkapolri. Di sektor ekonomi, ada resentralisasi, proyek strategis nasional, makan bergizi gratis, pemotongan anggaran daerah (TKD) hingga kenaikan fasilitas anggota parlemen.

BACA JUGA:Prabowo Sentil Mafia Minyak: Kaya dari Hasil Haram, Hidupnya Bakal Sial

“Sejak dilantik 20 Oktober 2024, tidak ada kemajuan berarti untuk hak asasi, baik bebas dari rasa takut maupun dari rasa kekurangan. Sebaliknya, terjadi erosi terparah sepanjang masa reformasi. Kebijakan yang pada masa pemerintahan lalu melanggar hak asasi justru berlanjut. Polanya sama, tanpa partisipasi aktif warga,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

BACA JUGA:Survei: Purbaya Paling Banyak Dibahas, AHY Paling Banyak Disayang

Setiap manusia, termasuk saat mengekspresikan kritik dan protes, berhak atas perlakuan manusiawi. Tapi setahun terakhir, 5.538 orang jadi korban penggunaan kekuatan eksesif dan kekerasan aparat lainnya saat memprotes pengesahan UU TNI pada Maret 2025, menuntut kesejahteraan buruh pada Mei 2025, dan menolak kenaikan tunjangan DPR RI pada Agustus 2025. Rinciannya, penangkapan (4.453 korban), kekerasan fisik (744 korban), dan penggunaan water canon dan gas air mata (341 korban).

Pasca demo Agustus 2025, saat ini 12 aktivis ditahan sebagai tersangka penghasutan dan dua orang dilaporkan masih hilang. Negara juga tidak serius mengusut jatuhnya 10 korban jiwa saat unjuk rasa Agustus lalu.

“Tim Gabungan Pencari Fakta juga batal dibentuk. Padahal itu amat penting untuk membongkar aktor yang paling bertanggungjawab. Komite Reformasi Polri juga menguap,” kata Usman.

BACA JUGA:Bahlil Dapat Nilai Terendah dari Celios, Golkar: Survei Lain Katanya Bagus Kok

“Bukannya mengevaluasi kebijakan, termasuk memastikan akuntabilitas polisi, Presiden malah memunculkan label negatif “anarkis”, “makar”, “asing”, bahkan “teroris” kepada pengunjuk rasa. Padahal mereka adalah mahasiswa, pelajar sekolah, pegiat literasi, dan warga biasa,” lanjut Usman.

Munculnya Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri pada 29 September lalu justru melonggarkan wewenang polisi, terutama penggunaan senjata api.

Sementara itu, kasus kekerasan aparat yang tidak terkait demonstrasi juga marak terjadi. Setidaknya 119 korban kekerasan aparat. Rinciannya, penangkapan (13 orang), kekerasan fisik (93 orang), penyiksaan (27 korban), penembakan (9 orang), pemerasan (5 orang), dan pembunuhan di luar hukum (42 orang). Data ini belum termasuk kasus di Papua yang saat ini sedang diverifikasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News