Publik Rindu Penyeimbang, PDIP Dinilai Pas di Luar Kekuasaan

Survei Kompas tunjuk mayoritas publik ingin ada oposisi di DPR. PDIP dinilai pas jadi penyeimbang di luar kekuasaan.-Foto: IG @presidenmegawati-
JAKARTA, PostingNews.id – Di tengah gaduh soal kinerja wakil rakyat dan partai-partai koalisi yang makin gemuk di DPR, publik ternyata masih punya harapan sederhana, yakni soal adanya yang berani jadi penyeimbang. Tidak sekadar ikut pesta kekuasaan, tapi bisa mengawasi pemerintah dan benar-benar menyuarakan suara rakyat.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 11–14 Agustus 2025 memperlihatkan mayoritas responden, 58,4 persen, lebih suka ada partai oposisi ketimbang semua partai kompak jadi pendukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus.
Menariknya, mayoritas pemilih PDI-P, PKB, Nasdem, PKS, dan Demokrat berharap PDI-P tetap di luar pemerintahan. Bahkan mereka yang mengaku golput pun ikut bilang PDI-P sebaiknya tetap jadi oposisi. Posisi PDI-P sekarang dianggap sudah sesuai dengan selera publik itu.
Dan memang tidak mengherankan. Koalisi KIM hasil Pilpres 2024 yang kini berlabel “plus” sudah jadi monster politik terbesar sejak era reformasi. Dengan 470 kursi dari 580 kursi DPR, kekuatannya tembus 81 persen. Bayangkan, tujuh dari delapan partai di DPR sudah masuk gerbong pemerintah.
BACA JUGA:Tim Investigasi Makar Mendesak Dibentuk, PDIP Sebut Kerusakan 2025 Lebih Parah dari 1998
Tapi, pemilih Gerindra, Golkar, dan PAN justru berpandangan beda. Mereka merasa PDIP lebih pas kalau ikut masuk ke pemerintahan. Wajar saja, mereka partai-partai inti KIM, sehingga logikanya soliditas akan makin kencang kalau semua berkumpul dalam satu meja makan kekuasaan.
Hal ini juga pernah ditegaskan Prabowo pada 14 Februari 2024 ketika berkumpul dengan elite parpol KIM plus. Kala itu, PAN, PKB, PSI, hingga Golkar antusias menyambut ide koalisi permanen.
Keinginan publik soal partai penyeimbang sebenarnya lebih bernuansa logika sehat checks and balances. Mereka tidak mau kekuasaan jadi absolut tanpa pengawas. Tapi, di sisi lain, ada wajah pragmatisme politik yang kental.
Pemilih PKB, Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat merasa PDIP lebih baik di luar, tapi mereka juga setuju partainya sendiri ikut gabung pemerintah. Intinya mau dapat kue kekuasaan, tapi tetap ingin ada oposisi.
BACA JUGA:Tim Pencari Fakta Mendesak Dibentuk, Koalisi Sipil Endus Peran Militer di Balik Kerusuhan Demo
Kalau mundur ke Pemilu 2024, pragmatisme ini makin kelihatan telanjang. Sebelum 14 Februari 2024, KIM cuma diisi enam partai: Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, dan Gelora. Tapi begitu Prabowo-Gibran menang, Nasdem, PKS, PKB, dan Partai Ummat langsung balik badan.
PPP dan Perindo pun ikut merapat. Partai nonparlemen seperti Partai Buruh, Garuda, hingga Prima juga akhirnya menyatakan dukungan. Tinggal Hanura yang bertahan bersama Ganjar-Mahfud.
Meski gemuk, partai politik tetap jadi sasaran kritik. Publik lebih berharap mereka jadi saluran aspirasi rakyat, bukan sekadar mesin politik. Buktinya, 56,4 persen responden menilai partai masih gagal jadi saluran aspirasi. Hanya 37,8 persen yang bilang sudah.
Publik juga punya resep sederhana untuk memperbaiki citra. Sekitar 24,6 persen menilai partai harus rajin turun langsung ke masyarakat. Lalu ada yang berharap janji kampanye benar-benar direalisasikan (20,9 persen), partai harus jujur dan antikorupsi (18,3 persen), serta meningkatkan profesionalitas (13,9 persen). Semua tuntutan itu kalau dilihat lebih dalam bermuara ke satu hal: ekonomi masyarakat harus membaik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News