Soal Pilkada Lewat DPRD, ICW Sebut Ruang Transaksi Politik Bisa Makin Gelap

Soal Pilkada Lewat DPRD, ICW Sebut Ruang Transaksi Politik Bisa Makin Gelap

ICW menilai wacana pilkada lewat DPRD berisiko memperluas transaksi politik tertutup dan tidak menyelesaikan persoalan politik uang.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id — Wacana lama yang sempat dikubur kini diangkat lagi ke permukaan. Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat kembali dipertanyakan, digeser ke opsi lama pemilihan lewat DPRD. Isunya berulang, alasannya pun terdengar familier. Ongkos politik dianggap terlalu mahal. Namun bagi Indonesia Corruption Watch, logika di balik wacana ini justru lebih mengkhawatirkan daripada biaya yang dipersoalkan.

ICW melihat pengguliran ulang skema pilkada lewat DPRD bukan solusi, melainkan pintu masuk bagi masalah yang lebih gelap. Staf Divisi Advokasi ICW, Seira Tamara, menilai dari sisi mana pun wacana ini sulit dipertanggungjawabkan. Bukan hanya tak menyelesaikan persoalan, tapi berpotensi memperlebar praktik transaksi politik yang selama ini justru ingin ditekan.

“Pilkada dipilih DPRD tidak menghilangkan praktik politik uang dan justru meningkatkan ruang transaksi politik yang tidak dapat diawasi masyarakat,” kata Seira dalam keterangan tertulis pada Selasa, 30 Desember 2025.

Menurut Seira, jika alasan utama menolak pilkada langsung adalah besarnya anggaran yang dikeluarkan negara, maka argumen itu seharusnya diuji lebih dalam, bukan sekadar dipakai sebagai pembenaran instan. Ia mengingatkan bahwa biaya memang fakta, tetapi konteks dan perbandingannya tak bisa dipotong setengah-setengah.

BACA JUGA:Drama Kursi Pelatih Timnas Indonesia: John Herdman Belum Pasti, Van Bronchkhorst Masih Berpeluang Melatih?

ICW mencatat anggaran pilkada 2024 ditaksir sekitar Rp37 triliun. Angka itu, kata Seira, justru jauh lebih kecil dibandingkan biaya penyelenggaraan pemilu 2024 yang mencapai Rp71,3 triliun. Jika hitung-hitungan kasar ini dipakai sebagai dasar mengubah sistem, maka logika itu bisa menyeret sistem demokrasi ke arah yang lebih sempit.

“Jika besarnya anggaran adalah tolak ukur, apakah pemilihan presiden dan legislatif yang diselenggarakan secara langsung harus juga diubah mekanismenya?” ujar Seira.

Ia lalu menunjuk contoh lain yang lebih telanjang. Anggaran program makan bergizi gratis pada 2025 mencapai Rp71 triliun, bahkan melampaui biaya pilkada. Program unggulan pemerintahan ini sejak awal disorot karena pelaksanaannya dinilai belum matang dan menyisakan banyak persoalan di lapangan. Namun anggaran besar itu tetap berjalan tanpa wacana penghapusan.

Bagi Seira, fakta tersebut memperlihatkan bahwa besarnya anggaran bukan persoalan utama. Masalahnya bukan pada angka, melainkan pada pilihan politik. “Dengan logika yang sama, ada banyak program prioritas pemerintah dengan anggaran jumbo yang perlu dihentikan,” ucapnya.

BACA JUGA:UIM Resmi Pecat Dosen Viral Kasus Ludahi Kasir Swalayan

Wacana pilkada lewat DPRD sendiri kembali mencuat setelah Partai Golkar mengangkatnya dalam rapat pimpinan nasional pada Sabtu, 20 Desember lalu. Partai berlambang pohon beringin itu menilai pilkada langsung telah mendorong ongkos politik kian mahal, baik bagi kandidat maupun partai.

Usulan tersebut kemudian mendapat sambutan dari sejumlah partai pendukung pemerintahan. PKB dan PAN, misalnya, menyebut mekanisme pilkada melalui DPRD tidak bertentangan dengan konstitusi dan dinilai bisa menekan biaya politik yang harus ditanggung calon kepala daerah.

Dukungan terhadap wacana ini juga bergema dari pidato Presiden Prabowo Subianto dalam perayaan ulang tahun ke-60 Partai Golkar. Dalam pidatonya, Prabowo menyinggung mahalnya biaya pilkada langsung dan menyiratkan perlunya evaluasi sistem.

“Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” kata Prabowo pada Kamis, 12 Desember 2024. Ia menambahkan, jika pilkada dilakukan oleh DPRD, negara dapat menghemat anggaran hingga triliunan rupiah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share

Berita Terkait