DPR Ngaku Potong Dana Reses, Tapi Tak Ada Bukti Dokumennya

Minggu 09-11-2025,13:00 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id — Indonesia Corruption Watch atau ICW menyoroti klaim pemotongan dana reses anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang disebut turun dari Rp 702 juta menjadi Rp 500 juta. Menurut lembaga antikorupsi itu, klaim tersebut belum dapat diverifikasi karena DPR tidak pernah membuka dokumen resmi terkait anggaran maupun laporan penggunaannya.

Kepala Divisi Advokasi ICW, Egi Primayogha, menjelaskan bahwa lembaganya telah mengajukan permintaan informasi publik sejak 21 Agustus 2025 untuk mendapatkan laporan pertanggungjawaban reses tahun 2024–2025 beserta dasar penetapan anggaran. Namun, hingga kini permintaan itu diabaikan.

“DPR tidak merespons positif. Mereka beralasan dokumen tersebut tidak berada di bawah penguasaan Sekretariat Jenderal DPR,” ujar Egi dalam keterangan pers, Jumat, 7 November 2025.

ICW menilai alasan tersebut janggal, karena dokumen anggaran seharusnya dikelola oleh administrasi resmi DPR. Sikap tertutup itu, kata Egi, justru memperkuat dugaan adanya penyimpangan dan memperlemah akuntabilitas publik. “DPR mestinya transparan dan akuntabel, bukan meminta publik percaya begitu saja,” tegasnya.

BACA JUGA:Usman Hamid Sindir Keras: Kalau Soeharto Pahlawan, Berarti Gus Dur dan Cak Nur Penjahatnya

Egi mendesak DPR segera membuka seluruh dokumen yang berkaitan dengan pemangkasan dana reses dan hak keuangan anggota dewan. Ia mengingatkan, gelombang demonstrasi besar pada Agustus 2025 merupakan tanda bahwa masyarakat sudah jenuh dengan pengelolaan anggaran DPR yang tidak transparan.

Sebelumnya, Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan adanya pemotongan dana reses dalam sidang yang digelar pada Rabu, 5 November 2025. Pemotongan itu dilakukan dengan mengurangi titik reses dari 26 menjadi 22 titik per legislator.

Namun, peneliti dari Indonesia Parliamentary Center, Arif Adiputro, melihat persoalan ini lebih dalam daripada sekadar soal angka. Ia menjelaskan bahwa kecenderungan DPR menutup akses informasi publik sudah berlangsung lama dan berkaitan dengan sejumlah faktor, mulai dari budaya internal hingga kepentingan politik.

Menurut Arif, alasan pertama DPR enggan membuka data karena tidak ingin menerima kritik publik. “Kalau publik tahu detail pengeluaran DPR untuk reses, maka bisa dibandingkan dengan harga pasar, termasuk honorarium, transportasi, konsumsi, dan vendor,” ujarnya. Ia menilai perbandingan itu berpotensi mengungkap pemborosan dan penggelembungan anggaran yang selama ini kerap ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

BACA JUGA:Bolehkah Menggunakan Minyak Goreng Hingga Berulang Kali? Cek Faktanya di Sini

Alasan kedua, kata Arif, adalah sulitnya verifikasi terhadap kegiatan reses yang dilaporkan masing-masing legislator. “Apakah kegiatan benar dilakukan? Apakah jumlah peserta sesuai laporan? Apa saja output yang tercapai? Karena verifikasi sulit, informasi detail cenderung ditahan,” ujarnya.

Selain itu, mekanisme pengawasan internal DPR juga tidak mendorong transparansi. Mahkamah Kehormatan Dewan lebih fokus pada etik, bukan keuangan, sementara Sekretariat Jenderal DPR dinilai tidak memiliki dorongan kuat untuk membuka data. “Tidak ada hukuman politik di DPR jika tidak transparan,” ujar Arif.

Ia menambahkan bahwa banyak legislator khawatir data anggaran bisa dipelintir untuk menyerang secara politik. Karena itu, mereka memilih strategi defensif dengan membuka data secukupnya saja. “Buka secukupnya, tapi tidak rinci,” ujarnya.

Faktor lain adalah lemahnya kerangka hukum yang mewajibkan keterbukaan data reses. “Undang-undang MD3 dan Tata Tertib DPR tidak mewajibkan publikasi laporan reses per anggota,” kata Arif. Menurutnya, selama tidak ada aturan tegas, para legislator akan memilih tingkat kepatuhan minimal.

BACA JUGA:Muzani: Tak Ada Lagi Dosa Hukum Soeharto, Pemerintah Bebas Beri Gelar Pahlawan

Kategori :