Ini Alasan Kenapa Pilkada Lewat DPRD yang Sudah Tutup Buku tak Lagi Relevan

Ini Alasan Kenapa Pilkada Lewat DPRD yang Sudah Tutup Buku tak Lagi Relevan

Akademisi menilai pilkada lewat DPRD sudah tak relevan usai putusan MK. Wacana ini dinilai berisiko dan berpotensi memundurkan demokrasi lokal.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id — Sejumlah akademisi angkat suara ketika wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD kembali bergulir. Bagi mereka, gagasan pilkada tak langsung bukan hanya ketinggalan zaman, tetapi juga sudah kehilangan pijakan hukum untuk diterapkan pada kontestasi mendatang.

Dosen hukum tata negara dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menyebut wacana tersebut semestinya sudah selesai dibicarakan. Menurut dia, sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, ruang untuk menghidupkan kembali pilkada lewat DPRD praktis tertutup.

“DPR dan pemerintah semestinya tidak mewacanakan kebijakan yang berpotensi memunculkan kontroversi baru,” kata Titi dalam keterangan tertulis pada Selasa 23 Desember 2025.

Ia menjelaskan, putusan Mahkamah Nomor 135 secara terang menyebut pemungutan suara kepala daerah di seluruh tingkatan digelar serentak dengan pemilihan anggota DPRD. Lebih jauh lagi, Mahkamah juga memberi arah jelas bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan langsung oleh rakyat. Karena itu, menurut Titi, tidak ada ruang tafsir yang bisa digunakan untuk memutar balik mekanisme tersebut.

BACA JUGA:Euforia Kripto Meledak Lalu Ambrol, Trader Ritel Menutup 2025 dengan Luka

“Pembentuk undang-undang sudah semestinya mengakomodasi putusan Mahkamah dalam pembahasan atau revisi undang-undang pemilu,” ujarnya.

Wacana pilkada dipilih DPRD mencuat kembali setelah Partai Golkar mengangkatnya dalam rapat pimpinan nasional pada Sabtu lalu. Partai berlambang pohon beringin itu beralasan, pilkada langsung selama ini memicu ongkos politik yang kian mahal dan sulit dikendalikan.

Nada kritis juga datang dari dosen hukum tata negara Universitas Andalas Charles Simabura. Ia menilai menguatnya diskursus pilkada lewat DPRD di parlemen tercium sebagai upaya mengakali putusan Mahkamah. Menurut Charles, DPR terlihat memanfaatkan tafsir soal perintah pemilu yang sederhana dan efisien dalam Putusan Nomor 135 untuk mendorong opsi pemilihan oleh DPRD.

Bagi Charles, langkah tersebut tidak hanya keliru arah, tetapi juga mengabaikan sejarah putusan Mahkamah sebelumnya. Ia mengingatkan bahwa dalam Perkara Nomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah telah menegaskan pilkada harus dilakukan secara langsung, bukan melalui DPRD.

BACA JUGA:Hashim Sebut Prabowo Tak Punya Sejengkal Pun Lahan Sawit di Indonesia

“Ini adalah suatu kemunduran, bukan evaluasi dengan tujuan memperbaiki,” kata Charles.

Di sisi lain, peneliti politik dari Populi Center Usep Saepul Ahyar melihat argumen Golkar tidak sepenuhnya tanpa dasar. Ia mengakui bahwa pilkada langsung memang kerap dibayangi biaya politik yang mahal dan praktik-praktik transaksional. Namun, menurut Usep, masalah itu lebih mencerminkan lemahnya tata kelola partai dan penegakan hukum pemilu ketimbang cacat pada desain pilkada langsung itu sendiri.

“Perdebatan ini seharusnya diarahkan pada perbaikan kualitas demokrasi lokal, pendanaan politik, kaderisasi partai, dan penegakan hukum, bukan sekadar mengganti mekanisme pemilihan,” kata Usep.

Ia menilai dorongan Golkar untuk mengembalikan pilkada ke DPRD tidak bisa dilepaskan dari faktor historis dan kalkulasi politik. Sejak lama, Golkar terbiasa dengan model demokrasi representatif yang menempatkan DPRD sebagai aktor utama. Dalam konteks kekinian, ketika Golkar memiliki basis kursi legislatif yang relatif kuat di banyak daerah, pemilihan melalui DPRD dinilai lebih terkendali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share