Banjir Sumatra Jadi Pembeda, Cara Prabowo Tangani Bencana Tak Lagi Seperti Zaman SBY
Penanganan banjir Sumatra menyorot perbedaan gaya Prabowo dan SBY. Dari dapur umum hingga debat status bencana nasional.-Foto: Tim Media Prabowo-
JAKARTA, PostingNews.id — Asap mengepul dari puluhan dapur umum di Sumatra. Bukan asap biasa, melainkan penanda kerja cepat negara. Sebanyak 28 dapur umum beroperasi nyaris tanpa jeda, memproduksi sekitar 100 ribu nasi bungkus setiap hari untuk korban banjir. Di balik hiruk-pikuk panci dan wajan itu, tersaji potret respons awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menghadapi bencana.
Langkah ini kerap dibaca sebagai gaya kepemimpinan taktis. Cepat, langsung menyentuh kebutuhan dasar, dan berorientasi pada hasil di lapangan. Namun di balik kecepatan itu, muncul perbandingan yang tak terelakkan. Bagaimana pola ini jika disejajarkan dengan fondasi penanganan bencana yang dibangun pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dua masa kepemimpinan, dua bencana besar, dan dua pendekatan yang sejak awal berdiri di jalur berbeda dalam merespons jeritan dari wilayah terdampak.
Indonesia sebelum akhir 2004 adalah negara yang belum siap berdamai dengan bencana. Responsnya sering kali bersifat dadakan, tambal sulam, dan sangat bergantung pada empati sesaat. Tsunami Aceh pada 24 Desember 2004 memaksa negara bercermin. Tragedi itu bukan sekadar duka nasional, melainkan guncangan yang membuka mata tentang rapuhnya sistem.
BACA JUGA:Impor BBM 2026 Mulai Dihitung, Bahlil Kasih Sinyal Keras ke SPBU Swasta yang Bandel
Di bawah kepemimpinan SBY, arah penanganan bencana dirombak. Negara tidak lagi sekadar hadir setelah kejadian, tetapi mulai membangun kerangka kerja yang permanen. Warisan terbesarnya bukan tenda darurat atau logistik sesaat, melainkan sistem yang mengikat negara secara hukum.
Lahir Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Regulasi ini mengubah cara pandang, dari bencana sebagai musibah alam menjadi tanggung jawab negara. Dari sanalah kemudian lahir Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagai pusat komando yang hingga kini menjadi tulang punggung koordinasi.
Pendekatan SBY berjalan metodis dan institusional. Ia membangun fondasi, menyusun aturan main, serta membuka jalur diplomasi bencana. Ketika Tsunami Aceh ditetapkan sebagai bencana nasional, bantuan internasional masuk dengan mekanisme yang lebih tertata. Anggaran pusat mengalir deras dan pemulihan dilakukan dalam skala besar.
Dua dekade berlalu, sistem itu kini diuji oleh zaman yang berbeda. Di era Presiden Prabowo, penanganan bencana tampil dengan wajah lain. Bukan lagi pembangunan lembaga atau regulasi baru, melainkan penekanan pada kecepatan eksekusi dan ketahanan logistik.
BACA JUGA:Kadernya Kena OTT, PDIP Tak Tinggal Diam dan Sentil KPK Soal Independensi
Saat banjir dan longsor melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, perhatian utama pemerintah diarahkan pada satu hal. Kebutuhan dasar korban harus terpenuhi secepat mungkin. Perintahnya sederhana namun tegas. Dapur umum harus berdiri, logistik harus sampai, dan negara harus hadir dalam hitungan jam, bukan hari.
Mobilisasi Taruna Siaga Bencana di bawah Kementerian Sosial dipercepat. Sumber daya TNI ikut digerakkan. Pendekatannya lebih menyerupai operasi lapangan terpusat. Komando satu arah, ritme cepat, dan target yang jelas.
Prabowo tidak sibuk melahirkan lembaga baru. Ia memilih memaksimalkan instrumen yang sudah ada dengan gaya kepemimpinan yang tegas dan langsung ke lapangan.
Perbedaan paling mencolok dari dua era ini terletak pada keputusan soal status bencana. SBY menetapkan Tsunami Aceh sebagai bencana nasional. Prabowo, dalam kasus banjir Sumatra, memilih tidak mengambil langkah tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News