Ketika Hutan Ditebang Tanpa Ampun, Bencana pun Datang Tak Kenal Ampun

Ketika Hutan Ditebang Tanpa Ampun, Bencana pun Datang Tak Kenal Ampun

Deforestasi terus menggerus hutan dunia. Dampaknya merambat ke krisis iklim, hilangnya satwa, hingga bencana yang mengancam manusia.-Foto: IG @iklimkuorg-

Bagi manusia, hutan adalah lumbung kehidupan. FAO mencatat sekitar 5,8 miliar orang di dunia memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti daging buruan, madu, lilin lebah, dan tanaman liar untuk pangan, energi, serta obat-obatan. Di India, masyarakat lokal dan adat memperoleh hingga 40 persen pendapatan mereka dari sumber daya tersebut. Ketika hutan rusak, mata pencaharian ikut tergerus.

BACA JUGA:Kenapa Perut Sering Tiba-Tiba Lapar Saat Tengah Malam? Ini Penjelasannya

Deforestasi juga memicu erosi tanah. Lahan menjadi rusak, aliran air tersumbat, risiko banjir meningkat, dan produktivitas pertanian menurun. Kerugian ekologis ini pada akhirnya kembali menghantam manusia.

Meski gambaran yang muncul tampak suram, sebagian konservasionis masih melihat celah harapan. Berbagai upaya dilakukan untuk melawan penambangan dan penebangan ilegal, melindungi hutan yang tersisa, serta memulihkan tutupan pohon melalui reforestasi dan rewilding. Di Tanzania, warga Pulau Kokota menanam lebih dari dua juta pohon dalam satu dekade untuk memperbaiki kerusakan masa lalu. Di Amerika Selatan, ratusan organisasi bekerja sama memulihkan Hutan Atlantik yang membentang lintas negara.

Sejumlah petani di Brasil menunjukkan bahwa pertanian bisa berjalan tanpa menghancurkan hutan dan keanekaragaman hayati. Di sisi lain, perusahaan mulai terlibat dalam pendanaan restorasi hutan melalui mekanisme kredit karbon. Langkah-langkah ini belum sempurna, tetapi memberi sinyal bahwa perubahan masih mungkin dilakukan.

Menjaga hutan juga berarti mencegah krisis kesehatan. Deforestasi yang melampaui batas dapat meningkatkan risiko penyakit zoonosis. Wabah Ebola pada 2014 menjadi pengingat keras setelah virus tersebut menewaskan lebih dari 11.000 orang di Afrika Barat. Penularannya bermula dari interaksi manusia dengan satwa liar yang kehilangan habitat.

BACA JUGA:Data Terbaru BNPB, Korban Bencana Sumatera Lewati Seribu Jiwa dan Ratusan Belum Ditemukan

Studi pada 2022 menunjukkan bahwa ketika kelelawar kehilangan habitat alaminya, mereka cenderung mendekati permukiman manusia. Sebaliknya, ketika hutan terjaga, satwa tetap berada jauh dari manusia. Temuan ini menegaskan bahwa perlindungan habitat satwa liar bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal keselamatan manusia.

Peran konsumen pun tidak bisa diabaikan. Dengan memilih produk yang diproduksi secara berkelanjutan, masyarakat dapat ikut menekan laju deforestasi. Sertifikasi dari lembaga seperti Forest Stewardship Council dan Rainforest Alliance membantu meningkatkan kesadaran dan mendorong praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab.

Pada akhirnya, hutan bukan sekadar warisan alam. Ia adalah fondasi kehidupan yang jika runtuh, dampaknya akan dirasakan lintas generasi. Menjaganya berarti menjaga masa depan bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share