Air Bah di Sumatera Belum Hilang, Jejak Krisis Lingkungan Makin Terang

Air Bah di Sumatera Belum Hilang, Jejak Krisis Lingkungan Makin Terang

Genangan banjir Sumatera belum surut sementara krisis agraria dan ekologis makin jelas terlihat dari kerusakan hulu, konflik lahan, dan lambatnya penanganan.-Foto: Metropolitan-

BACA JUGA:Makna Status Prioritas Nasional untuk Banjir Sumatera yang Gagal Jadi Bencana Nasional

Rocky menyebut pola serupa terjadi di Tapanuli Tengah. Sejak 1990 wilayah ini kehilangan sekitar 16.137 hektare hutan alam. Periode 1990–2000 menjadi masa terburuk dengan kehilangan 9.023 hektare disusul 2010–2020 sebesar 6.154 hektare. Walau begitu, berbeda dari Tapanuli Selatan, perubahan tutupan lahan di Tapanuli Tengah tidak menunjukkan lonjakan dramatis kebun sawit, kebun kayu, atau pertambangan. Perluasannya hanya sekitar 853,54 hektare. Sebagian besar tutupan hutan justru berganti menjadi gambut, mangrove, sawah, permukiman, dan bentuk lahan lainnya.

KSPPM menemukan hal lain yang makin memperjelas akar persoalan. Di hulu Sungai Batang Toru terdapat 21 anak sungai sementara di Sungai Sibundong ada 46 anak sungai. Seluruhnya berada dalam konsesi PT Toba Pulp Lestari.

“Kondisi ini menguatkan dugaan bahwa pembukaan hutan dan perubahan kawasan menjadi monokultur khususnya penanaman kayu eukaliptus telah merusak fungsi hidrologis kedua DAS tersebut” ujar Rocky.

Benny menegaskan bencana ekologis ini seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk menyelesaikan krisis agraria yang sudah lama menumpuk. Ia mendorong perubahan struktural di tingkat kebijakan karena selama ini negara lebih sering bertindak sebagai pemadam kebakaran yang baru hadir saat bencana tetapi absen ketika situasi kembali normal.

“Kami mengingatkan pemerintah untuk segera melakukan evaluasi dan moratorium terhadap izin dan konsesi yang telah memonopoli wilayah adat masyarakat dan hutan di Indonesia, khususnya di tiga provinsi tersebut” katanya.

BACA JUGA:Tiga Dekade Hutan Tapanuli Terkikis dan Kini Bencana Datang Bertamu

Berbagai kelompok masyarakat sipil termasuk KPA, KSPPM, BPRPI, PARAP, YRBI Aceh, Serikat Tani Aceh Utara dan Sarekat Pengorganisasian Rakyat mendesak pemerintah segera melakukan langkah pemulihan dan perbaikan. Mereka menuntut moratorium hingga pencabutan izin perusahaan yang bermasalah, penegakan hukum terhadap pejabat dan korporasi yang diduga merampas tanah, pengembalian pengelolaan sumber daya agraria kepada rakyat, serta pelaksanaan reforma agraria sejati.

Mereka juga menuntut Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria bergerak cepat dan meminta Presiden Prabowo segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria sebagai penanggung jawab utama penyelesaian konflik yang selama ini berlarut-larut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share