PVRI Sebut Gelar Pahlawan Soeharto Skandal Terbesar Era Reformasi

PVRI Sebut Gelar Pahlawan Soeharto Skandal Terbesar Era Reformasi

PVRI menilai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto oleh Presiden Prabowo sebagai skandal terbesar era reformasi dan bentuk pencucian sejarah.-Foto: Dok. Arsip Nasional-

JAKARTA, PostingNews.id — Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan presiden Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto kembali menyalakan perdebatan lama tentang warisan politik Orde Baru. Di saat sebagian pihak menilai keputusan itu sebagai bentuk penghormatan pada jasa pemimpin masa lalu, sebagian lain justru melihatnya sebagai kemunduran moral dalam perjalanan reformasi Indonesia.

Lembaga kajian Public Virtue Research Institute (PVRI) termasuk di barisan terakhir. Direktur Eksekutif PVRI Muhammad Naziful Haq menyebut langkah Prabowo menganugerahi gelar kepada Soeharto sebagai skandal terbesar sejak Reformasi 1998. Ia menilai keputusan itu mengabaikan suara masyarakat sipil dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto.

“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto lebih mirip pencucian dosa sejarah,” kata Naziful dalam keterangan tertulis pada Senin, 10 November 2025.

Menurut Naziful, keputusan pemerintah tersebut hanya menilai Soeharto dari sisi kelayakan administratif semata. Ia menilai logika seperti itu cacat karena menutup mata terhadap pelanggaran HAM dan praktik korupsi yang membentuk fondasi kekuasaan Soeharto selama lebih dari tiga dekade.

BACA JUGA:Fadli Zon: Soeharto Tidak Pernah Terbukti Korupsi atau Langgar HAM

PVRI menilai bahwa sejak awal kekuasaannya, Soeharto telah bermasalah. Ia naik ke tampuk tertinggi melalui peristiwa politik berdarah tahun 1965 yang menandai lahirnya Orde Baru. Naziful menyebut bahwa sejarah kelam itu sudah banyak diungkap dalam karya para akademikus seperti Benedict Anderson, Ruth McVey, dan John Roosa.

Bagi Naziful, kejahatan-kejahatan politik yang terjadi selama masa Soeharto adalah dosa sejarah yang tak bisa ditebus dengan selembar gelar kehormatan. “Elite menganggap publik tidak membaca dan menelisik ulang sejarah, sehingga seolah tidak bisa membedakan mana yang punya nilai teladan dan seolah semuanya bisa direkonsiliasi,” tuturnya.

Naziful juga menyesalkan dukungan politik dan keagamaan yang mengalir terhadap gelar pahlawan Soeharto. Baginya, dukungan itu menandai keberpihakan yang ironis sekaligus mengonfirmasi apa yang ia sebut sebagai “bagian dari skandal politik terbesar era Reformasi.”

Penganugerahan gelar itu dilakukan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Senin, 10 November 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan. Ada sepuluh tokoh yang menerima gelar tersebut, termasuk Soeharto.

BACA JUGA:Tak Hanya Gelar Kehormatan, Ahli Waris Pahlawan Nasional Terima Rp 50 Juta Tiap Tahun

Penetapan itu dibacakan oleh Sekretaris Militer Wahyu Yudhayana yang menyebut bahwa pemberian gelar dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa keputusan ini merupakan bentuk penghormatan negara kepada para pemimpin yang telah memberikan jasa besar bagi bangsa. “Bagaimana kami menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin, yang apa pun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara,” kata Prasetyo.

Di sisi lain, keluarga Soeharto merespons dengan sikap tenang. Putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto, mengatakan bahwa keluarganya tidak merasa perlu membela diri dari berbagai tuduhan yang diarahkan kepada ayahnya. Ia percaya masyarakat kini cukup cerdas untuk menilai sendiri rekam jejak Soeharto.

“Saya rasa rakyat juga makin pintar. Jadi, bisa melihat apa yang Soeharto lakukan, dan bisa menilai sendiri ya. Kami tidak perlu membela diri atau bagaimana,” ujar Tutut seusai upacara di Istana Negara. Ia menilai perbedaan pandangan mengenai gelar pahlawan untuk Soeharto adalah hal yang wajar. “Untuk yang kontra, yang tidak mendukung, saya, kami keluarga tidak merasa dendam atau kecewa atau bagaimana. Sebab negara ini kan kesatuan Bhinneka Tunggal Ika. Monggo-monggo saja,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News