Debat Gelar Pahlawan Soeharto, Jasanya Diakui, Tapi Tak Layak Jadi Pahlawan

Debat Gelar Pahlawan Soeharto, Jasanya Diakui, Tapi Tak Layak Jadi Pahlawan

Perdebatan gelar pahlawan untuk Soeharto kembali memanas. Jasa ekonomi diakui, namun pelanggaran HAM dan korupsi membuat banyak pihak menolak.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id — Penolakan atas rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto terus terdengar dari berbagai kelompok masyarakat. Perdebatan itu tampaknya belum akan mereda dalam waktu dekat, sebab sosok mantan presiden kedua RI ini memang berada di persimpangan sejarah antara pujian dan luka kolektif.

Romo Franz Magnis-Suseno, SJ, akademisi dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengakui bahwa Soeharto pernah memainkan peran besar dalam menstabilkan Indonesia setelah kekacauan ekonomi dan politik pada akhir masa Demokrasi Terpimpin. Dalam pandangannya, ada masa ketika pemerintah Orde Baru memberi efek menenangkan setelah ketegangan nasional yang panjang.

“Tidak disangkal sama sekali bahwa Soeharto adalah seorang presiden yang hebat. Soeharto yang membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi setelah tahun-tahun terakhir Demokrasi Terpimpin,” ujar Romo Magnis di Jakarta pada Senin, 4 November 2025.

Ia menambahkan, keberhasilan diplomasi Soeharto pada awal pemerintahannya juga memberi pengaruh besar di kawasan. Indonesia tidak lagi berada pada posisi konfrontatif, khususnya dengan Malaysia, dan mulai berperan dalam membangun kerja sama di Asia Tenggara melalui ASEAN.

BACA JUGA:Gibran Ajak Kawal Dana Otsus, Warga Papua Sudah Berapa Kali Mendengar Kalimat Itu

“Sangat penting bahwa beliau sejak semula menolak konfrontasi dengan Malaysia, dan sebaliknya menjadikan Indonesia bagian dari ASEAN yang bersahabat, bukan menakutkan,” kata Magnis.

Namun penghormatan sejarah tidak otomatis berarti penghargaan berupa gelar pahlawan nasional. Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan bahwa jasa Soeharto dalam beberapa aspek tidak menghapus catatan kelam dalam bidang hak asasi manusia dan tata kelola kekuasaan.

“Terlepas dari apapun jasanya, seperti disebut secara bijaksana oleh Romo Magnis, sangatlah tidak pantas Soeharto menjadi pahlawan nasional,” ujar Usman.

Romo Magnis menyebut ada garis tebal yang membatasi antara menghargai jasa dan mengabaikan pelanggaran berat yang terjadi. Dalam pandangannya, pelanggaran HAM yang terjadi setelah 1965 tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab Soeharto sebagai pengendali kekuasaan.

BACA JUGA:Projo Merapat ke Gerindra, PDIP: Ada Sesuatu yang Disembunyikan Budi Arie?

“Menjadi seorang pahlawan nasional dituntut lebih. Dituntut bahwa ia tidak melakukan hal-hal yang jelas melanggar etika dan mungkin juga jahat,” katanya.

Menurut Magnis, tragedi pembunuhan massal 1965–1966 yang menghilangkan nyawa ratusan ribu hingga jutaan orang, tidak bisa dipandang sebagai peristiwa netral dalam sejarah.

“Tidak bisa disangkal bahwa Soeharto paling bertanggung jawab atas genosida setelah 1965–1966. Antara 800.000 sampai 3 juta orang menjadi korban. Itu mengerikan sekali,” ujar Magnis.

Selain pelanggaran HAM, Soeharto juga dinilai membangun sistem korupsi yang terstruktur selama tiga dekade pemerintahannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News