Keterwakilan Perempuan di DPR, Antara Simbol dan Substansi

Keterwakilan Perempuan di DPR, Antara Simbol dan Substansi

Putusan MK wajibkan 30 persen keterwakilan perempuan di AKD. Apakah itu sekadar angka atau memicu perubahan kualitas kepemimpinan di DPR.-Foto: Monitor-

Meski Mahkamah Konstitusi telah mengetuk palu untuk memperkuat posisi perempuan di alat kelengkapan dewan, jalan menuju keterwakilan yang setara rupanya masih terjal. Di balik putusan yang tampak progresif itu, realitas politik di lapangan masih jauh dari ideal. Struktur kekuasaan yang maskulin dan budaya politik yang cenderung patriarkal membuat perempuan kerap kesulitan menembus ruang pengambilan keputusan.

Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia yang juga Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai hambatan terbesar bagi perempuan justru lahir dari cara kerja internal partai politik sendiri.

BACA JUGA:Ramai-ramai Biro Travel Komplain soal Umrah Mandiri, Kemenhaj: Kalau Saudi Bolehin, Masa Kita Larang?

“Memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa dalam praktiknya, posisi strategis di DPR seperti pimpinan komisi atau badan masih sering dibagi berdasarkan kekuatan politik, bukan semangat kesetaraan gender. “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” kata Titi.

Pandangan senada juga disampaikan oleh Rieke Diah Pitaloka. Menurutnya, hambatan keterwakilan perempuan di parlemen sudah muncul sejak tahap paling awal, yakni dari proses pencalonan. “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.

Rieke menekankan bahwa kehadiran perempuan di parlemen tidak bisa dilepaskan dari peran partai politik. Perempuan yang duduk di kursi legislatif, kata dia, sejatinya adalah perpanjangan tangan partainya, bukan individu yang berdiri sendiri. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat kaderisasi dan pendidikan politik bagi perempuan agar mereka bisa bersaing setara di arena kekuasaan. “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.

BACA JUGA:ASN Bolos Kerja Bisa Dipecat Tanpa Pensiun, BKN: Banyak yang Sudah Jadi Korban

Titi menambahkan, bias gender di dalam tubuh partai politik masih menjadi hambatan laten. Banyak partai yang menganggap isu perempuan bukan prioritas utama. Akibatnya, politisi perempuan yang sudah berhasil menembus parlemen sering kali tidak mendapatkan dukungan struktural dari partainya untuk menduduki posisi penting di alat kelengkapan dewan.

“Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” ujarnya.

Ia juga menyoroti lemahnya investasi partai dalam membangun kapasitas kader perempuan. Minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender membuat jaringan serta kemampuan politik perempuan di parlemen sulit berkembang.

 “Minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” tegas Titi.

Putusan MK mungkin telah membuka pintu, tetapi dari apa yang disampaikan Titi dan Rieke, tampak jelas bahwa pintu itu belum sepenuhnya bisa dilewati. Kuncinya masih dipegang oleh partai-partai politik yang menentukan siapa yang layak melangkah masuk. Dan di situlah, perjuangan keterwakilan perempuan di parlemen belum benar-benar dimulai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News