Banggar Sebut Gaji Sahroni Dkk Jalan Terus Meski Dinonaktifkan, DPR Hanya Dapat ‘Sanksi Kosmetik’

Banggar Sebut Gaji Sahroni Dkk Jalan Terus Meski Dinonaktifkan, DPR Hanya Dapat ‘Sanksi Kosmetik’

Banggar DPR sebut Sahroni dkk tetap sah terima gaji meski dinonaktifkan partai. Istilah nonaktif dinilai cuma sanksi simbolik, bukan hukum.-Foto: IG @ahmadsahroni88-

JAKARTA, PostingNews.id – Lima anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dinonaktifkan oleh partainya usai menuai kemarahan publik nyatanya masih tetap menjabat, bergaji, dan menerima tunjangan penuh. Mengapa? Karena dalam kacamata hukum, status “nonaktif” itu tidak pernah ada dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Ini bukan sekadar soal bahasa. Ini soal substansi kekuasaan dan gaji publik.

“Tatib DPR maupun Undang-undang MD3 memang tidak mengenal istilah (anggota DPR) nonaktif,” ujar Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah, saat ditemui awak media di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 1 September 2025.

Artinya, meski partai politik menyebut kadernya “dinonaktifkan” karena komentar atau aksi yang menyulut emosi rakyat, secara hukum mereka tetap anggota DPR yang aktif dan tetap menerima seluruh hak keuangannya. Tak ada sanksi administratif, tak ada pemotongan tunjangan, apalagi pemecatan otomatis. Mereka hanya ‘dicopot secara simbolik’, tapi tidak betul-betul disingkirkan.

Kelima legislator itu adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach (NasDem), Eko Patrio dan Uya Kuya (PAN), serta Adies Kadir (Golkar). Tindakan partai terhadap mereka memang terkesan tegas di permukaan, namun sejatinya tanpa dasar hukum yang mengikat.

Said menjelaskan bahwa satu-satunya jalur resmi untuk menghentikan jabatan seorang anggota DPR adalah melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang MD3. Tanpa PAW, status dan fasilitas keuangan mereka tetap utuh.

“Dari sisi aspek itu (UU MD3), ya terima gaji,” katanya blak-blakan.

Meski demikian, Said memilih untuk tidak menghakimi keputusan masing-masing partai. Ia menghormati langkah politik itu, namun menekankan bahwa seharusnya penonaktifan simbolik itu ditindaklanjuti dengan langkah hukum konkret jika ingin berdampak nyata.

“Saya menghormati keputusan yang diambil oleh Nasdem, PAN, Golkar, dan seharusnya pertanyaan itu dikembalikan kepada ketiga partai tersebut,” ujarnya.

Sebagai catatan penting, mekanisme PAW tak semudah sekadar membuat pernyataan pers. Pasal 239 UU MD3 menyebutkan bahwa pergantian anggota DPR melibatkan sejumlah lembaga: partai politik, pimpinan DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Presiden. Tanpa koordinasi dan syarat lengkap, PAW tidak bisa dieksekusi.

Ada sejumlah alasan resmi yang membenarkan pemberhentian anggota DPR, seperti:

  1. Meninggal dunia,
  2. Mengundurkan diri,
  3. Tidak hadir berturut-turut selama tiga bulan tanpa keterangan,
  4. Melanggar sumpah atau kode etik,
  5. Terjerat pidana dengan vonis 5 tahun atau lebih,
  6. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota,
  7. Atau diberhentikan dari partai asalnya.

Dalam konteks kelima anggota yang dinonaktifkan, tak satu pun dari alasan tersebut terpenuhi. Mereka tidak dipenjara, tidak dipecat dari partai, tidak mundur, dan tidak mangkir tiga bulan. Maka, secara hukum dan konstitusional, mereka masih 100 persen anggota DPR.

Permintaan Maaf PDIP

Di ujung pernyataannya, Said juga bicara soal dua kader PDI Perjuangan yang aksinya viral dan dikecam publik: Deddy Sitorus (Komisi II) dan Sadarestuwati (Komisi V). Alih-alih membela, Said memilih bersikap dewasa dengan menyampaikan permohonan maaf terbuka.

“Saya sebagai anggota Fraksi PDI Perjuangan atas nama Pak Deddy Sitorus, Ibu Sadarestuwati, sungguh-sungguh minta maaf jika kemudian ada kesalahan, kekhilafan, yang dilakukan oleh Pak Deddy dan Ibu Sadarestu, dengan segala kerendahan hati kami minta maaf,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News