Penonaktifan Sahroni dkk Cuma Akal-akalan Partai, Pakar Bongkar Sandiwara NasDem, PAN, dan Golkar

Penonaktifan Sahroni dkk Cuma Akal-akalan Partai, Pakar Bongkar Sandiwara NasDem, PAN, dan Golkar

Pakar hukum bongkar istilah “nonaktif” yang dipakai NasDem, PAN, dan Golkar untuk DPR. Bukan mekanisme hukum, cuma akal-akalan politik.-Foto: IG @ahmadsahroni88-

JAKARTA, PostingNews.id – Langkah Partai NasDem, PAN, dan Golkar yang memamerkan kebijakan “menonaktifkan” kader mereka dari kursi empuk DPR dinilai cuma gimmick murahan untuk menenangkan gelombang protes publik yang makin tak terbendung. Sejumlah dosen hukum tata negara membongkar bahwa istilah “nonaktif” itu tak lebih dari fatamorgana politik alias legalitasnya nol besar.

Akademisi hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Yance Arizona, secara gamblang membantah keabsahan istilah tersebut. Ia menegaskan dalam hukum formal, terutama dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), tak pernah dikenal istilah “nonaktif”. 

“Anggotanya dinonaktifkan hanyalah akal-akalan yang tidak didasarkan perundang-undangan,” kata Yance kepada wartawan, Senin, 1 September 2025.

Menurut Yance, jika partai-partai itu benar-benar mendengarkan jeritan rakyat dan ingin meredam gejolak massa, maka satu-satunya jalan adalah mencabut keanggotaan kader mereka secara permanen. “Lalu mengajukan kepada pimpinan DPR dan Presiden untuk melantik penggantinya,” tegasnya.

Dari Jakarta, suara serupa datang dari Titi Anggraini, dosen hukum tata negara Universitas Indonesia. Ia menyebut penonaktifan itu sekadar keputusan internal partai yang tak punya taji hukum, apalagi berdampak langsung terhadap status keanggotaan DPR.

"Undang-Undang MD3 tidak mengenal istilah nonaktif. Yang ada hanya mekanisme pergantian antarwaktu,” ujar Titi, kemarin.

Titi merinci pergantian antarwaktu (PAW) diatur dalam Pasal 239 UU Nomor 17 Tahun 2014 juncto UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MD3. Prosesnya jelas: partai harus mengajukan usulan resmi ke pimpinan DPR, yang kemudian disampaikan ke Presiden. Setelah itu, Presiden akan menerbitkan keputusan presiden untuk memberhentikan anggota DPR bersangkutan sekaligus menetapkan penggantinya berdasarkan suara terbanyak berikutnya di dapil yang sama.

Dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, turut mempertegas bahwa istilah “nonaktif” tidak ada padanan hukumnya dalam tata perundang-undangan Indonesia.

Dalam konteks UU MD3 dan Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2020, istilah yang benar adalah “pemberhentian sementara”, dan itu pun tak bisa sembarang diberlakukan oleh partai politik

“Ini tidak lahir dari otoritas partai politik. Jadi, tidak bisa partai tiba-tiba memberhentikan sementara kepada DPR,” ujar Herdiansyah.

Ia bahkan curiga, manuver “nonaktif” ini adalah strategi licik NasDem, PAN, dan Golkar untuk sekadar meredam badai kritik publik. Padahal, pemberhentian sementara hanya sah bila anggota DPR berstatus tersangka atau terdakwa dalam kasus pidana, terutama dengan ancaman lima tahun penjara atau dalam perkara tindak pidana khusus. “Itu bisa dilakukan pemberhentian sementara, bukan penonaktifan,” tuturnya.

Namun partai-partai itu tetap melaju dengan narasi dramatisnya. Per 1 September 2025, DPP Partai NasDem mencopot sementara Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari posisinya. DPP PAN menyusul dengan menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya.

Tak ketinggalan, Partai Golkar ikut bermain, Wakil Ketua DPR Adies Kadir pun ikut dijadikan tumbal politik oleh Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia.

Sekretaris Jenderal Golkar, Sarmuji, mengklaim penonaktifan itu sebagai bentuk penegakan disiplin dan etika. “Kami menegaskan bahwa aspirasi rakyat tetap menjadi acuan utama perjuangan Partai Golkar,” ujarnya dalam keterangan pers, Minggu, 31 Agustus 2025.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News